Selasa, 02 April 2013

Aku Ingin Membaca Qur’an Untuk Ibuku

Sebuah kisah yang menyentuh hati
tentang harapan indah seorang
ibu kepada anaknya dan bakti
sang anak kepadanya.

Ahmad berumur sebelas tahun
ketika ibunya (orang tua tunggal)
mengantarnya untuk kelas
Qira’ati (membaca Al Qur’an).

Aku suka anak-anak itu memulai
belajar membaca Qur’an di awal usia, terutama anak laki-laki. Aku
sampaikan hal itu pada Ahmad.
Namun ia menyampaikan alasannya,
bahwa ibunya selalu berharap
dapat mendengar bacaan Al
Qur’an darinya.

Ahmad memulai pelajaran
Qira’atinya dan sejak itu aku
berfikir ini merupakan pekerjaan
yang sia-sia.

Meskipun aku sudah
berusaha keras mengajarinya, ia
tampaknya belum bisa mengenal huruf-huruf hijaiyah dan tidak bisa
menalar bagaimana membacanya.
Namun ia patuh untuk terus
membaca Al Qur’an seperti yang
kuwajibkan untuk semua murid-
muridku.

Dalam beberapa bulan ia terus
berusaha sementara aku
menyimak bacaannya dan terus
menyemangatinya. Di setiap akhir
pekan ia selalu berkata: “Ibuku
akan mendengarku membaca Al Qur’an suatu hari.” Di balik itu
aku melihatnya tak bisa
diharapkan. Ia tidak berbakat! Aku tak mengenal ibunya dengan
baik.

Aku hanya sempat melihatnya
dari kejauhan ketika ia mengantar
atau menjemput Ahmad dengan
mobil tuanya. Ia selalu melambaikan
tangan kepadaku tapi tak pernah berhenti untuk masuk ke kelas.

Suatu hari, Ahmad berhenti dari
mendatangi kelas kami. Aku pernah
berniat akan menelponnya tetapi
kemudian berfikir mungkin ia
memutuskan untuk melakukan hal
lain. Mungkin ia akhirnya menyadari akan ketiadaan bakatnya dalam
Qira’ati. Aku juga merasa lega
dengan ketidak hadirannya. Ia bisa
menjadi iklan yang buruk bagi
kelas Qira’atiku!

Beberapa minggu kemudian, aku
mengirimkan selebaran kepada
murid-muridku di rumah akan
adanya acara pembacaan qira’ah
Al Qur’an. Tak disangka, Ahmad
(yang juga menerima pengumuman itu) menanyakan apakah ia
diperkenankan untuk tampil
membaca qira’ah Al Qur’an. Aku
menyatakan bahwa sebenarnya
acara ini untuk murid yang masih
aktif saja dan karena ia sudah tidak pernah hadir lagi, maka ia
tidak berhak tampil. Ia menyatakan
bahwa ibunya akhir-akhir ini sakit
dan tak bisa mengantarnya ke
kelas. Ia juga menyatakan bahwa
dirinya masih terus berlatih Qira’ati di rumah meskipun tidak
masuk kelas.

“Ustadzah,… Aku harus ikut
membaca qira’ah!,” paksanya
kepadaku. Aku tak tahu apa yang
menyebabkanku akhirnya
memperbolehkannya ikut tampil.

Mungkin karena tekad Ahmad yang kuat atau ada bisikan hatiku yang
menyatakan bahwa semuanya
akan baik-baik saja. Malam acara pembacaan qira’ah
itu telah tiba. Gedung olah raga
sekolah telah dipenuhi para orang
tua murid, teman-teman dan
sanak saudara. Aku tempatkan
Ahmad pada giliran terakhir sebelum aku sendiri yang akan
menutup acara dengan ucapan
terima kasih dan pembacaan
qira’ah penutup. Aku berfikir
bahwa jika penampilan Ahmad
merusak acara ini maka itu terjadi di akhir acara dan aku bisa
“menyelamatkan” penampilan
buruknya dengan penampilanku
sendiri. Pembacaan qira’ah dari murid ke
murid berlangsung lancar. Mereka
telah berlatih dan itu terlihat
dalam penampilan mereka.

Kini giliran Ahmad naik ke panggung.
Bajunya lusuh tak terseterika dan rambutnya pun acak-acakan tak
tersisir rapi. “Mengapa ia tidak
berpenampilan rapi seperti murid-
murid yang lain?” lintasan
pertanyaan buruk sangka
langsung bergolak di kepalaku. “Mengapa ibunya tidak
mempersiapkan penampilannya?
Paling tidak, sekedar menyisir
rambutnya untuk acara istimewa
malam ini?” Ia mulai membaca. Aku sungguh
terkejut ketika ia mengumumkan
bahwa surat Al Kahfi akan ia
bacakan. Aku tak menyangka dan
tak siap dengan apa yang
kudengar selanjutnya. Suaranya begitu ringan dan lembut.
Qira’ahnya sangat sempurna!
Belum pernah kudengar bacaan Al
Qur’an seindah itu dari anak-anak
seumurnya. Setelah enam setengah menit ia
berhenti. Penuh haru dan berlinang
air mata, aku bergegas ke atas
panggung dan memeluk Ahmad
dengan gembira. “Aku belum
pernah mendengar yang seindah itu Ahmad! Bagaimana engkau bisa
seperti itu?” Melalui mikrofon
Ahmad menjelaskan: “Ustadzah,…
ingat tidak ketika aku mengatakan
bahwa ibuku sakit? Ya,
sebenarnya ia menderita kanker dan telah meninggal pagi tadi. Dan
sebenarnya… ia lahir tuli.

Jadi,
malam ini adalah kali pertama ia
bisa mendengarku membaca Al
Qur’an. Karena itu, aku ingin
menjadikan ini qira’ah yang istimewa.” Tak ada mata yang kering
sepenuh gedung malam itu. Saat
petugas dari Dinas Sosial
mengantar Ahmad dari panggung
untuk dibawa ke Panti Asuhan, aku
melihat, bahkan mata mereka pun memerah dan sembab. Aku berkata di dalam hati, betapa
hidupku semakin kaya dengan
menjadikan Ahmad sebagai
muridku. Ialah sebenarnya “sang
guru” sementara aku adalah
muridnya. Ialah yang mengajariku hikmah dari kesabaran dan cinta
serta kepercayaan diri.

Aku juga
belajar untuk memberikan
kesempatan kepada seseorang,
berharap kebaikan meskipun
kadang tanpa alasan yang bisa dimengerti.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar