Selasa, 05 November 2013

Allah Maha Mengetahui

Yang sederhana, jangan dirumit-rumitkan. Yang mudah, jangan disulit-sulitkan sehingga membuat kita merasa tak sanggup meraih dan mengerjakannya, padahal agama ini tidak menuntut syarat yang demikian tinggi dan sulit. Sungguh, tidak akan mempersulit agamanya kecuali ia akan terkalahkan sendiri. Sungguh, akan ada orang-orang yang melampaui batas(ghuluw) dalam agama ini maupun mengetat-ngetatkan (tasyaddud) apa yang dilonggarkan agama. Inilah yang perlu kita khawatiri.

Sebalik-baliknya, jangan memudah-mudahkan (tasahul) urusan yang telah ditentukan. Sangat berbeda memudahkan dengan memudah-mudahkan. Yang pertama, sikap pribadi untuk memudahkan urusan dan tidak mempersulitnya. Sedangkan yang kedua, mencari-cari kelonggaran dan meremehkan rambu-rambu yang telah diberikan oleh Allah Ta`ala dan dijelaskan oleh rasul-Nya, Muhammad shallaLlahu:alaihi wa sallam. Sikap yang kedua ini dapat bersumber dari lemahnya iman, dapat juga bersumber dari lemahnya ilmu sehingga tidak tahu telah terjatuh pada tasahul (memudah-mudahkan) tanpa sadar. Sebagiannya karena syubhat, yakni munculnya keyakinan yang datangnya dari luar agama, tetapi dianggap sebagai bagian dari agama. Contoh: rumah tangga akan sulit sekali mencapai kebahagiaan jika sebelum menikah tidak saling mengenal dengan sangat baik.

Angan-angan lain yang dianggap sebagai faktor yang sangat mempengaruhi kebahagiaan suami-istri adalah keselarasan fisik, pendidikan, suku maupun latar belakang ekonomi. `Berawal dari anggapan ini, orang banyak bersibuk dan khawatir dengan hal-hal yang bersifat fisik, tetapi justru lalai dengan hal yang lebih mendasar, yakni lurusnya niat dan matangnya ilmu.

Yang paling penting untuk kita perhatikan adalah komitmennya terhadap agama keutamaan akhlaknya. Bahkan ini pun tidak serta merta dapat dilihat dari keluasan ilmu agamanya. Jika ada lelaki yang bagus agama dan akhlaknya datang meminangmu, jangan abaikan ia. Terimalah. Sungguh ini merupakan kebaikan yang menjadi pintu barakah.

Jika engkau telah memiliki ketetapan hati untuk menikah, bersegeralah. Carilah wanita yang baik agama dan akhlaknya. Sebaiknya, jarak antara peminangan (khitbah) dengan akad nikah tidak terlalu lama. Tepatnya : tidak lama. Merupakan hal yang lumrah dan patut jika peminangan langsung diiringi dengan akad nikah, sehingga tidak berlama-lama menunggu.

Terkait dengan jodoh, ada dua hal penting yang perlu kita pahami. Pertama, Allah Ta`ala Maha Kuasa atas segala sesuatu lagi Maha Mengetahui. Jika Allah Ta`ala telah tentukan jodoh, maka ia pasti akan bertemu dengan kita, dimana pun tempatnya, meskipun sangat tersembunyi. Allah Ta`ala Maha Kuasa untuk menentukan terjadinya pertemuan itu. Kedua, ikhtiar merupakan kewajiban yang kesungguhan melakukannya karena Allah Ta`ala semata amat berpengaruh terhadap barakah pernikahan. Inilah sebaik-baik pernikahan.

Berhati-hatilah terhadap perkataan “Jodoh di tangan Tuhan, tapi jika kita tidak mengambilnya, bagaimana mungkin kita akan mendapatkannya.”
Atau perkataan, "Jodoh di tangan Tuhan. Tapi kita yang memutuskan untuk mengambilnya atau tidak.” | Ini merupakan salah satu perkataan yang sangat buruk.
Atau perkataan lain yang serupa dan amat fatal kesalahannya dari segi aqidah.

Sesungguhnya, tidak ada yang lebih utama untuk kita harapkan dalam pernikahan melebihi barakah. Ini pula yang kita mintakan do`a kepada yang hadir saat akad nikah maupun walimah kita. Salah satu pintu barakah itu adalah melakukan ikhtiar secara serius, bersungguh-sungguh dan sebaik-baiknya. Yang dimaksud baik adalah baik dalam iktikad, baik dalam kegigihan berusaha.

Apa yang perlu kita perhatikan dalam memilih seseorang untuk menjadi istri kita? Perhatikan kriteria paling mendasar, jangan bersibuk dengan kriteria yang tidak penting. Kriteria pokok itu ada pada aqidah dan akhlak. Selebihnya ada tuntunan untuk melakukannadzar, yakni melihat secara fisik (bukan foto) pada orang yang kita ingin menikahinya untuk memperoleh kemantapan hati menikahi. Jangan remehkan perkara ini. Lakukanlah karena ingin menetapi sunnah. Sesungguhnya bersama sunnah ada barakah.
Istikharah Sebelum Menikah
Bagaimana dengan istikharah? Tidak ada perintah khusus tentang istikharah dalam urusan nikah. Kita mendapati hadis shahih tentang istikharah dalam Shahih Bukhari untuk memohon pilihan dalam urusan apa pun. Jika kita telah memiliki tekad bulat untuk mengerjakan sesuatu, mantap terhadapnya, lalu kita memohon pilihan kepada Allahsubhanahu wa ta`ala
Dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu, dia bercerita: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengajarkan istikharah kepada kami dalam (segala) urusan, sebagaimana beliau mengajari kami surat dari Al-Qur’an. Beliau bersabda:


إِذَ هَمَّ أَحَدُ كُمْ بِاْلأَمْرِ، فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ مِنْ غَيْرِ الْفَرِيْضَةِ، ثُمَّ لْيَقُلْ : اَللَّهُمَّ إِنِّي أَسْتَخِيْرُكَ بِعِلْمِكَ وَأَسْتَقْدِرُكَ بِقُدْرَتِكَ وَأَسْأَلُكَ مِنْ فَضْلِكَ الْعَظِيْمِ فَإِنَّكَ تَقْدِرُ وَلاَ أَقْدِرُ وَتَعْلَمُ وَلاَ أَعْلَمُ وَأَنْتَ عَلاَّمُ الْغُيُوْبِ. اَللَّهُمَّ إِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ هَذَا اْلأَمْرَ خَيْرٌ لِيْ فِيْ دِيْنِيْ وَمَعَاشِيْ وَعَاقِبَةِ أَمْرِيْ (ا َوْ قَالَ: عَاجِلِ أَمْرِي وَآجِلِهِ) فَاقْدُرْهُ لِيْ وَيَسِّرْهُ لِيْ ثُمَّ بَارِكْ لِيْ فِيْهِ، وَإِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ هَذَا اْلأَمْرَ شَرٌّ لِيْ فِيْ دِيْنِيْ وَمَعَاشِيْ وَعَاقِبَةِ أَمْرِيْ (أَوْ قَالَ: فِيْ عَاجِلِ أَمْرِي وَآجِلِهِ) فَاصْرِفْهُ عَنِّي وَاصْرِفْنِيْ عَنْهُ وَاقْدُرْ لِيَ الْخَيْرَ حَيْثُ كَانَ ثُمَّ أَرْضِنِيْ بِهِ قَالَ : وَيُسَمِّي حَاجَتَهُ

Jika salah seorang di antara kalian berkeinginan keras untuk melakukan sesuatu, maka hendaklah dia mengerjakan shalat dua raka`at di luar shalat wajib, dan hendaklah dia mengucapkan, 

"Ya Allah, sesungguhnya aku memohon petunjuk kepada-Mu dengan ilmu-Mu, memohon ketetapan dengan kekuasan-Mu, dan aku memohon karunia-Mu yang sangat agung, karena sesungguhnya Engkau berkuasa sedang aku tidak kuasa sama sekali, Engkau mengetahui sedang aku tidak, dan Engkau Maha Mengetahui segala yang ghaib. 

Ya Allah, jika dalam pengetahuan-Mu urusan ini (kemudian menyebutkan langsung urusan yang dimaksud) lebih baik bagi diriku dalam agama, kehidupan, dan akhir urusanku” –atau mengucapkan, “baik dalam waktu dekat maupun yang akan datang"-, maka tetapkanlah ia bagiku dan mudahkanlah ia untukku. Kemudian berikan barakah kepadaku dalam menjalankannya. 

Dan jika dalam pengetahuan-Mu urusan ini buruk bagiku dalam agama, kehidupan dan akhir urusanku” –atau mengucapkan, “baik dalam waktu dekat maupun yang akan datang"-, maka jauhkanlah urusan itu dariku dan jauhkan aku darinya, serta tetapkanlah yang baik itu bagiku dimana pun kebaikan itu berada, kemudian jadikanlah aku orang yang ridha dengan ketetapan tersebut." Beliau bersabda, “Hendaklah dia menyebutkan keperluannya.” (HR. Bukhari).

Ada yang perlu kita renungkan dari hadis tersebut. Rasulullah shallaLlahu `alaihi wa sallam mengajarkan kepada kita bahwa shalat istikharah itu dilakukan "jika salah seorang dari kalian berkeinginan kuat, bertekad besar untuk melakukan sesuatu (إِذَ هَمَّ أَحَدُ كُمْ بِاْلأَمْرِ)". Artinya, jika kita telah mantap melakukan setelah mempertimbangkan baik buruk serta maslahat madharat dari apa yang ingin kita tempuh, maka kita melakukan shalat istikharah untuk memohon petunjuk dan pilihan dari Allah subhanahu wa ta`ala. Betapa pun kita telah memiliki pertimbangan yang matang dan meyakini kebaikannya, kita harus mengingat bahwa Allah Ta`ala yang Maha Mengetahui, Maha Bijaksana lagi Maha Kuasa atas segala sesuatu. Maka kepada-Nya kita memohon petunjuk dan taufiq-Nya. Adapun jika nyata keburukan sesuatu itu, maka tidaklah patut melakukan shalat istikharah. Yang demikian ini agar tak menjatuhkan kita pada pembenaran terhadap keburukan.

Berkenaan dengan shalat istikharah setelah memiliki kemantapan, kisah Imam Bukharirahimahullah patut kita renungkan. Setelah beliau memastikan keshahihan dari hadis-hadis yang dikumpulkannya, beliau melakukan shalat istikharah untuk memutuskan hadis itu dimasukkan ke dalam Al-Jami’Ash-Shahih Al-Musnad min Haditsi Rasulillah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam wa Sunanihi wa Ayyamihi atau kita kenal dengan Shahih Bukhari.

Muhammad bin Yusuf Al Firyabi rahimahullah menuturkan bahwa Imam Bukhari berkata, “Tidaklah aku menuliskan satu hadis pun dalam kitab ini, kecuali aku mandi terlebih dahulu, kemudian shalat dua raka`at.” Yang dimaksud di sini adalah shalat istikaharah.

Bagaimana jika kita sedang dalam keadaan penuh keraguan? Carilah apa-apa yang memantapkan, di antaranya seperti dituntunkan oleh Rasulullah shallaLlahu `alaihi wa sallam, yakni nadzar (melihat secara fisik orang yang kita berkeinginan menikah dengannya). Jika kita telah memiliki pilihan berdasarkan pertimbangan yang ada, maka kita melakukan shalat istikharah untuk memohon ketetapan pilihan dari Allah subhanahu wa ta`ala. Jika pilihan kita baik, semoga Allah Ta`ala mudahkan urusan dan berikan barakah yang berlimpah. Dan jika pilihan kita itu buruk menurut Allah subhanahu wa ta`ala, maka semoga Allah Ta`ala jauhkan kita darinya seraya memberi ganti yang lebih baik.
Pelajaran berharga tentang shalat istikharah ini adalah soal ridha terhadap qadha` dan qadar Allah `Azza wa Jalla. Apa pun yang Allah Ta`ala berikan kepada kita, akan terasa keutamaannya, pada awalnya boleh jadi tampak lebih buruk dibanding yang kita harapkan. Jika hati ridha, kekurangan yang ada tak merisaukan. Sementara kelebihannya lebih mudah menumbuhkan rasa syukur.
Wallahu a`lam bish-shawab.

Sekedar catatan, shalat istikharah merupakan ibadah sunnah. Bukan wajib. Sesudah menunaikan shalat, barulah do`a istikharah dibaca.

Mendekati Orangtua
Salah sumber masalah yang kerap muncul belakangan ini adalah tidak selarasnya keinginan anak dan orangtua dalam masalah jodoh, bahkan dalam urusan pernikahan secara umum. Ini salah satunya dipicu oleh keengganan kita melibatkan orangtua dalam pembicaraan tentang nikah semenjak awal. Kita mengabaikan dakwah kepada orangtua, termasuk untuk urusan menikah. Tetapi begitu kita ingin menikah, kadang bahkan sudah memiliki kecenderungan sangat kuat terhadap seseorang, tiba-tiba saja kita menyampaikan maksud kepada orangtua. Inilah yang memicu masalah. Terkadang orangtua bahkan sampai tersinggung berat.

Meskipun demikian, sangat mungkin terjadi orangtua tidak sependapat dengan kita meski sudah berusaha menjalin komunikasi yang baik. Jika ini terjadi, hal pokok yang perlu kita perhatikan adalah menjaga diri untuk tetap bersikap dan bertutur yang baik kepada orangtua. Kita berbicara kepada orangtua dengan qaulan kariiman (perkataan yang memuliakan, gaya komunikasi memuliakan). Kita berusaha memahami cara berpikir orangtua, lalu menyampaikan maksud kita melalui cara berpikir orangtua.

Jika sekiranya sudah tidak ada masalah, segera saja melakukan khitbah (melamar). Bagaimana prosedurnya? Tidak berbelit-belit. Datang kepada orangtuanya, nyatakan maksud, itu sudah meminang. Bahkan melalui SMS atau WhatsApp pun bisa sekiranya orangtuanya ridha. Ringkasnya, khitbah itu menyatakan maksud untukmenikahi seorang wanita. Just simple like that! Adapun teknis yang beragam-ragam tidak masalah sejauh tidak memberatkan dan tidak bertentangan dengan syari`at.

Yang perlukita ingat adalah sabda Nabi shallaLlahu`alaihi wa sallam“ خَيْـرُ النِّكَـاحِ أَيْسَـرُهُ Sebaik-baik nikah adalah yang paling mudah.” (HR. Abu Dawud). Mudah di sini maksudnya mudah prosesnya, murah maharnya, mudah juga mencari maharnya.

Kapankah saatnya ta`aruf? Sesudah menikah. Sebelum akad, cukuplah mengetahui hal-hal mendasar terkait aqidah dana khlaknya. Kita mengorek informasi dari orang yang benar-benar mengenal, bukan hanya sekedar mengetahui selintas karena sering shalat bersama di masjid.
Betapa banyak pasangan suami-istri yang saling mengenal sebelum menikah, tapi baru beberapa bulan berumah-tangga sudah penuh perselisihan. Yang diperlukan adalah kesediaan untuk senantiasa belajar memahami istri/suaminya. Pada saat yang sama, ada kesediaan untuk menerima ia apa adanya. Jika engkau ridha kepadanya, yang sederhana pun akan membahagiakan dan menyentuh jiwa. Jika pernikahan Anda berlimpah bahagia, masih perlukah Anda menonton TV untuk mencari hiburan sementara jiwa senantiasa terhibur?

Wallahu a`lam bish-shawab.

Page facebook : Mohammad Fauzil Adhim