Hancurnya
sebuah peradaban sering dimulai dari hancurnya keluarga. Keluarga adalah
benteng terakhir yang mempertahankan nilai-nilai luhur, kasih sayang dan
kebahagiaan. Ketika keluarga hancur maka seseorang yang tumbuh dewasa akan kehilangan
acuan tentang makna hidup dan kebahagiaan. Fenomena ini benar-benar terjadi di
Barat, termasuk di Amerika Serikat. Hal ini tampak dari semakin tingginya angka
perceraian dan pada saat yang sama menurunnya minat orang untuk menikah (orang
merasa lebih aman untuk hidup bersama tanpa ikatan).
Pada tahun
2003, misalnya, hanya terdapat tiap 1000 penduduk 7,5 pernikahan baru dan
sebaliknya 3,8 perceraian. Selain perceraian, kasus bunuh diri terjadi tiap 16
menit sekali di AS dan setiap kasus menimbulkan dampak sosial pada minimal
enam orang.
Walhasil
semakin banyak anak-anak yang tumbuh hanya dengan satu orang tua (single
parent), baik karena perceraian maupun kehamilan di luar nikah. Di AS pada
tahun 2002 terdapat 21,5 juta anak seperti ini (pada 13,4 juta orangtua
tunggal). Tiap 5 dari 6 orang tua tunggal ini adalah wanita. Anak yang
dibesarkan dari orangtua tunggal terbukti cenderung lebih mudah terjebak dalam
kriminalitas, kehamilan di usia belasan tahun atau kecanduan narkoba. Fenomena
ini bukan monopoli AS, namun juga dapat diamati di hampir semua negara Barat
.
Selain itu
mereka juga mengkampanyekan orang tua tunggal, pasangan sejenis, dan hubungan
seks pranikah. Di beberapa negara seperti Belanda dan Kanada, pernikahan
sejenis telah dilegalkan bahkan direstui oleh gereja.
Kecanggihan
teknologi tanpa tuntunan syari’at juga berpotensi menghancurkan nasab
manusia. Kini, orang sering merekomendasikan kehadiran anak melalui teknologi
kloning, inseminasi buatan, bank sperma dan bayi tabung, tanpa mengindahkan
ikatan suami-istri. Semua itu berujung pada hancurnya silsilah atau garis
keturunan sebuah keluarga.
Kapitalisme
yang bersendikan kebebasan perilaku (hurriyah asy syakhsiyah) telah
merampas keutuhan keluarga dan kebahagiaan seorang anak, yakni memiliki kedua
orang tua. Bagaimanapun juga, seorang anak, layaknya mahluk hidup, membutuhkan
keutuhan kasih sayang dari kedua orang tuanya. Figur ibu membentuk karakter
kelembutan dan ayah memberinya teladan kepemimpinan dan ketegasan. Bahkan
hewan-hewan sekalipun membutuhkan keberadaan kedua orang tuanya.
Runtuhnya
pilar-pilar keluarga juga ditunjukkan dengan putusnya hubungan anak dengan
orang tua. Di banyak negara yang menganut paham kapitalisme, hubungan orang tua
dilepaskan dari tanggung jawab terhadap anak saat sang anak beranjak dewasa.
Sedangkan para anak umumnya mengirim orang tuanya yang sudah tua ke panti
jompo.
Dalam sistem
komunis, anak-anak adalah milik negara. Hal ini sesuai dengan doktrin ideologi
mereka, menghilangkan kepemilikan termasuk pada anak-anak. Pemerintah berhak
mengambil anak-anak dari orang tua mereka jika dibutuhkan. Sebagian dari
anak-anak itu dilatih menjadi tentara dan agen rahasia pemerintah komunis,
seperti KGB di Uni Soviet.
Orang
Tua Menurut Islam
Dalam Islam,
muamalah dengan orang tua mendapatkan pembahasan yang amat mendalam. Islam
telah menempatkan orang tua sebagai manusia yang patut dimuliakan oleh
anak-anak mereka. Dalam Al Qur’an berulangkali Allah Swt. mengingatkan kaum
muslimin akan kewajiban birrul walidayn (berbakti pada orang tua). Terdapat 14
tempat dalam Al Qur’an yang membahas kewajiban berbakti dan mendoakan kedua
orang tua. Ayat-ayat itu adalah :
-Al Baqarah : 83, 180, 215
-An
Nisa : 36
-Al An’am : 151
-Al Isra’ : 23
-Luqman : 14
-Maryam : 14
-Al
Ankabut : 8
-Al Ahqaf : 15, 17
-Ibrahim : 41
-An Naml : 19
-Nuh : 28
Dalam
sejumlah ayat seperti dalam surat An Nisa ayat 36, Allah Ta’ala menggandengkan
perintah berbakti pada orang tua dengan menyembah Diri-Nya, tidak mempersekutukan-Nya.
Memperlihatkan betapa besarnya nilai berbakti pada kedua orang tua. Firman-Nya:
وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ
شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى
وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَى وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ
بِالْجَنْبِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ إِنَّ اللَّهَ لَا
يُحِبُّ مَنْ كَانَ مُخْتَالًا فَخُورًا
“Sembahlah Allah dan janganlah
kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua
orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga
yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba
sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan
membangga-banggakan diri.”
Perintah ini dipertegas lagi
dalam hadits Nabi SAW, yang menggolongkan durhaka pada orang tua sebagai dosa
besar. Sabdanya:
الْإِشْرَاكُ بِاللَّهِ وَعُقُوقُ
الْوَالِدَيْنِ وَقَتْلُ النَّفْسِ وَشَهَادَةُ الزُّورِ
“[Dosa besar] adalah
mempersekutukan Allah, durhaka pada kedua orang tua, membunuh manusia, dan
bersaksi palsu.” (HR Bukhari)
Nabi SAW juga mengingatkan akan
besarnya kebaikan orang tua sampai-sampai seorang anak tidak akan mampu
membalas kebaikannya. Sabda beliau:
لَا يَجْزِي وَلَدٌ وَالِدًا إِلَّا أَنْ
يَجِدَهُ مَمْلُوكًا فَيَشْتَرِيَهُ فَيُعْتِقَهُ
“Seorang anak tidak bisa membalas
budi baik ayahnya kecuali jika ia mendapatinya menjadi budak, kemudian ia
membelinya dan membebaskannya.” (HR Muslim)
Selain itu, berbakti pada orang
tua akan memberikan ganjaran yang besar bagi anak-anak mereka. Surga Allah akan
terbentang lebar bagi siapa saja yang melakukannya. Bahkan amal berjihad di
jalan Allah pun tidak bisa mengalahkan keutamaan berbakti pada kedua orang tua.
Diriwayatkan oleh Imam Muslim sebagai berikut:
أَيُّ الْعَمَلِ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ قَالَ
الصَّلَاةُ عَلَى وَقْتِهَا قَالَ ثُمَّ أَيٌّ قَالَ ثُمَّ بِرُّ الْوَالِدَيْنِ
قَالَ ثُمَّ أَيٌّ قَالَ الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ
Abdullah bin Mas’ud ra pernah
mendatangi Nabi saw. dan bertanya, “Amal apakah yang paling utama?” Beliau menjawab, “Sholat pada waktunya,” lalu ia bertanya lagi, “Kemudian apa lagi?” Beliau menjawab, “Berbakti pada kedua orang tua,” lalu ia bertanya lagi, “Lalu apa lagi?” Beliau menjawab, “Berjihad di jalan Allah.” (HR Bukhari)
Kemudian dalam hadits Imam Muslim
diriwayatkan bahwa ada seorang pria mendatangi Nabi Muhammad SAW dan berbay’at serta
ingin berjihad. Nabi kemudian menyuruhnya kembali untuk mengurus kedua orang
tuanya.
أَقْبَلَ
رَجُلٌ إِلَى نَبِيِّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ
أُبَايِعُكَ عَلَى الْهِجْرَةِ وَالْجِهَادِ أَبْتَغِي الْأَجْرَ مِنَ اللَّهِ
قَالَ فَهَلْ مِنْ وَالِدَيْكَ أَحَدٌ حَيٌّ قَالَ نَعَمْ بَلْ كِلَاهُمَا قَالَ
فَتَبْتَغِي الْأَجْرَ مِنَ اللَّهِ قَالَ نَعَمْ قَالَ فَارْجِعْ إِلَى
وَالِدَيْكَ فَأَحْسِنْ صُحْبَتَهُمَا
“Seorang laki-laki mendatangi
Nabi saw. dan berkata, ”Aku membay’atmu untuk berhijrah dan berjihad dan mengharap pahala dari
Allah.” Rasulullah SAW bertanya, “Apakah ada salah seorang dari orangtuamu
masih hidup?” Ia menjawab, “Bahkan keduanya masih hidup!” Nabi Muhammad SAW berkata, “Kau mengharap pahala dari Allah?” Ia menjawab, “Benar” Nabi Muhammad SAW berkata lagi,“Pulanglah kepada orang tuamu dan perbaikilah
pelayanan kepada keduanya.” (HR Muslim)
Sebaliknya,
anak-anak yang menelantarkan kedua orang tuanya, membuang kesempatan berbakti
pada mereka amat merugi. Nabi Muhammad SAW bersabda:
رَغِمَ أَنْفُ ثُمَّ رَغِمَ أَنْفُ ثُمَّ
رَغِمَ أَنْفُ قِيلَ مَنْ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ مَنْ أَدْرَكَ أَبَوَيْهِ
عِنْدَ الْكِبَرِ أَحَدَهُمَا أَوْ كِلَيْهِمَا فَلَمْ يَدْخُلِ الْجَنَّةَ
“Sungguh merugi, sungguh merugi,
sungguh merugi!” kata Nabi saw. Lalu ditanyakan, “Siapa ya, Rasulullah?” Beliau menjawab,“Orang yang mendapati kedua orang tuanya atau salah satu
dari keduanya saat ia dewasa, tapi tidak masuk ke dalam surga (karena tidak
berbakti pada mereka – penulis)” (HR Muslim)
Abdullah bin Umar ra. pernah
berkata pada seseorang, “Apakah engkau takut masuk neraka dan ingin masuk surga?” pria itu menjawab, “Tentu!” Ibnu Umar berkata, “Kalau begitu, berbaktilah kepada ibumu. Demi Allah, kalau engkau berbicara
padanya dengan lembut dan memberinya makan, niscaya engkau akan masuk surga,
selama dosa-dosa besar engkau hindari.”
Suatu ketika Ibnu Abbas ra.
pernah ditanya seseorang tentang seorang suami yang membunuh istrinya, “Apakah tobat yang layak baginya?” Dia menjawab, “Jika dia masih mempunyai orang tua, berbaktilah kepada mereka. Mudah-mudahan
dengan amalnya itu Allah mengampuninya.” Jawaban yang serupa juga ia berikan untuk pertobatan seorang wanita yang
mempelajari ilmu sihir.
Bermuamalah
Dengan Orang Tua
Syaikh Umar
Bakr Muhammad menyebutkan ada 10 hak orang tua yang wajib ditunaikan oleh
anaknya, yakni:
1. Al Ta’am (memberi nafkah atau makan). Jika orang tua tidak mempunyai makanan maka
kewajiban bagi anak-anaknya memberi makan pada orang tuanya.
2. Al-Maskan (Memberi Tempat Berlindung). Jika orang tua tidak mempunyai tempat berlindung
maka kewajiban anak-anaknya untuk memberi tempat berlindung bagi orang tuanya.
3. Al-Himayyah (Memberi Perlindungan). Kewajiban bagi seorang anak untuk melindungi
orangtuanya dari marabahaya atau kekerasan atau melakukan sesuatu yang
bertentang dengan Islam.
4. Al-Tibaba (Memberi Pengobatan). Kewajiban untuk memberi pengobatan yang baik kepada
orang tuannya disaat mereka jatuh sakit.
5. Al-Dain (Hutang). Apabila orang tua meninggal dan masih mempunyai hutang maka si
anak harus dapat memastikan hutangnya terbayar.
6. Al-Nasab (Garis Keturunan). Anak-anak dilarang untuk menghina dan mencela orang
tuannya sendiri.
7. Al-Janazah (Sholat Janazah). Anak-anak wajib mensholati orang tuanya jika mereka
meninggal dunia dan segera menguburkannya secara Islam.
8. Al-Wasiyyah. Anak-anak harus memenuhi permintaan orang tuanya sebelum meninggal atau
apapun yang telah mereka tulis dalam surat.
9. Al-Du’a (Doa). Anak wajib mendoakan orang tuanya dan memohonkan ampun atas segala
dosanya.
10. Al-Malbas (Memberi Pakaian). Wajib bagi anak untuk memberi pakaian kepada orang
tuanya jika mereka memerlukan.
Muamalah
dengan orang tua harus dilakukan dengan cara terbaik. Hal itu adalah titian
menuju surga Allah SWT. Rasulullah SAW bersabda:
“Orang yang durhaka kepada kedua
orang tuanya akan berbuat apa saja yang ia kehendaki, dan niscaya dia tidak
akan masuk surga. Sebaliknya, orang yang baik (pada keduanya) tidak akan masuk
neraka.” (HR Ad Dailamiy)
Adapun bentuk hubungan (as
suhbah) yang diatur oleh syara’ adalah sebagai berikut:
1. Wajib
memperlakukan mereka dengan baik dan mematuhi segala perintahnya selama tidak
bertentangan dengan syara’. Firman Allah Ta’ala:
وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ
شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا
“Sembahlah Allah dan janganlah
mempersekutukannya dengan yang lain dan terhadap orang tua berbuat baiklah,” (An Nisa : 36)
Rasulullah SAW bersabda:
رِضَى الرَّبِّ فِي رِضَى الْوَالِدِ
وَسَخَطُ الرَّبِّ فِي سَخَطِ الْوَالِدِ
“Ridlo Tuhan ada pada ridlo orang
tua, dan murka Tuhan ada para kemurkaan orang tua.” (HR. Tirmidzi)
Diriwayatkan bahwa pada suatu
malam Abdullah bin Mas’ud ra. pernah diminta ibunya membawakan air untuknya. Ia
pun mengambilnya. Ketika ia kembali dan membawanya, ibunya telah tertidur.
Akhirnya Ibnu Mas’ud duduk dekat kepala ibunya dengan terus memegangi wadah air
itu hingga subuh.
2. Tidak berkata dan bersikap kasar kepada keduanya. Firman Allah Ta’ala:
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan
supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada
ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau
kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali
janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu
membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.” (Al Isra : 23)
Suatu hari Abdullah bin Awn,
seorang ulama salaf, pernah dipanggil oleh ibunya. Ia menjawab dengan nada yang
lebih tinggi dari suara ibunya. Tapi ia teringat dengan kewajiban bersuara
lembut pada orang tua, seketika menebus kesalahannya dengan memerdekakan dua
orang hamba sahaya.
3. Wajib
menafkahi kedua orang tua seandainya mereka sudah tidak mampu lagi mencari
nafkah. Kedua orang tua termasuk kelompok keluarga yang wajib ditanggung
nafkahnya oleh anak-anaknya. Nafkah ini termasuk tempat tinggal, kesehatan dan
perlindungan.
4. Jika
memberi makanan maka berilah makanan yang terbaik. Diriwayatkan bahwa pada masa
Khalifah Utsman bin Affan ra. harga kurma mencapai 1000 dirham. Akan tetapi
Usamah bin Zaid malah membelah kurma-kurmanya lalu mengeluarkanjummar (daging kurma yang paling lunak) untuk diberikan kepada ibunya. Orang-orang
keheranan dan bertanya, “Mengapa engkau lakukan itu, padahal engkau tahu, sekarang harga kurma bisa
mencapai 1000 dirham?” Usamah menjawab, “Ibuku memintanya. Apapun yang ibuku minta, jika aku bisa melakukannya,
pasti aku penuhi.”
5. Jika
mereka menyuruh berbuat maksiat, maka wajib menolaknya namun tetap bergaul
dengan mereka dengan cara yang ma’ruf. Firman Allah Ta’ala:
“Dan jika keduanya memaksamu
untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang
itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia
dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya
kepada-Kulah kembalimu, maka Ku-beritakan kepadamu apa yang telah kamu
kerjakan.” (Luqman: 15)
6. Mendoakan
keduanya, karena doa seorang anak yang saleh akan memberikan pahala pada kedua
orang tuanya. Sabda Nabi Muhammad SAW :
إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ
عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ إِلَّا مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ
يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
“Jika manusia mati maka
terputuslah amalnya kecuali tiga perkara; shadaqah jariah, ilmu yang
dimanfaatkan, dan anak soleh yang mendoakannya.” (HR Muslim)
Di antara doa yang dianjurkan dan
tercantum dalam Al Qur’an adalah:
رَبَّنَا اغْفِرْ لِي وَلِوَالِدَيَّ
وَلِلْمُؤْمِنِينَ يَوْمَ يَقُومُ الْحِسَابُ
“Ya Tuhan kami, beri ampunlah aku
dan kedua ibu bapakku dan sekalian orang-orang mu’min pada hari terjadinya
hisab (hari kiamat)”. (Ibrahim :
43)
رَبِّ
أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَى
وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضَاهُ وَأَصْلِحْ لِي فِي ذُرِّيَّتِي
إِنِّي تُبْتُ إِلَيْكَ وَإِنِّي مِنَ الْمُسْلِمِينَ
“Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk
mensyukuri ni`mat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu
bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridhai;
berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku.
Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk
orang-orang yang berserah diri” (Al Ahqaf :
15).
7. Bagi para gadis wajib meminta izin kepada ayahnya
jika akan melakukan kegiatan di luar rumah seperti mencari ilmu, berdakwah dan
bekerja. Hal ini dikarenakan seorang gadis berada dalam perwalian ayahnya.
Rasulullah SAW bersabda:
اَلْوَالَدُ اَوْسَطُ اَبْوَابِ الْجَنَّةِ
فَحَافِظْ عَلَى ذَلِكَ إِنْ شِئْتَ اَوْ دَعْ
“Ayah itu menduduki pertengahan
pintu-pintu surga, karena itu peliharalah pintu itu kalau kalian mau, atau
tinggalkanlah (dengan segala akibatnya).” (HR Ibnu Hibban)
Imam Baidlawi menjelaskan arti
dan maksud dari hadits tersebut bahwa sebaik-baik titipan pelintas masuk surga
dan mencapai derajat yang tinggi ialah dengan jalan mematuhi perintah seorang
ayah dan berbakti padanya. Ketaatan pada ayah juga ditegaskan dalam hadits yang
lain:
طاَعَةُ اللهِ طَاعَةُ الْوَالِدِ وَ
مَعْصِيَةُ اللهِ مَعْصِيَةُ الْوَالِدِ
“Taat kepada Allah adalah sama
halnya dengan taat kepada ayah. Berbuat maksiat kepada Allah sama halnya dengan
berbuat maksiat keapda seorang ayah.” (HR Imam
Ath Thabari
Ustadz
Abdurrahman Al Baghdadi menjelaskan seandainya larangan tersebut keras maka
wajib mematuhinya, tapi boleh mengerjakannya jika larangan hanya berupa
anjuran/himbauan.
8. Dianjurkan (mandub/sunnah) mengikuti keinginan orang tua dalam hal selain yang wajib/fardhu menurut syara’, seperti urusan jodoh, pemilihan tempat tinggal, pekerjaan, dsb. Hal ini dikarenakan adanya dua jenis nash; pertama, yang mewajibkan setiap muslim untuk menaati orang tua. Kedua, ada nash yang mengizinkan seorang anak untuk mengambil keputusannya sendiri. Nash itu adalah seorang gadis yang bercerita kepada Rasulullah SAW bahwa ia telah dijodohkan oleh ayahnya namun ia tidak menyukainya. Lantas Rasulullah SAW memberikan pilihan itu kepada si gadis itu sendiri, apakah menerimanya atau menolaknya.
Demikian pula diriwayatkan bahwa Abdullah bin Umar ra. pernah diminta oleh ayahnya, Umar bin Khaththab ra. untuk menceraikan istrinya, tetapi beliau tidak melakukannya. Ketika kabar ini sampai kepada Rasulullah SAW beliau memerintahkan Abdullah bin Umar ra. untuk menceraikan istrinya.
9. Jika orang tua telah wafat, maka tetap diharuskan berbakti pada keduanya. Dari Abu Usaid ra., bahwa saat mereka sedang duduk-duduk di sisi Rasulullah SAW tiba-tiba datanglah seorang laki-laki dari Bani Salamah dan bertanya,” Ya, Rasulullah apakah aku bisa berbakti kepada kedua orang tuaku sedang mereka telah meninggal dunia?”
8. Dianjurkan (mandub/sunnah) mengikuti keinginan orang tua dalam hal selain yang wajib/fardhu menurut syara’, seperti urusan jodoh, pemilihan tempat tinggal, pekerjaan, dsb. Hal ini dikarenakan adanya dua jenis nash; pertama, yang mewajibkan setiap muslim untuk menaati orang tua. Kedua, ada nash yang mengizinkan seorang anak untuk mengambil keputusannya sendiri. Nash itu adalah seorang gadis yang bercerita kepada Rasulullah SAW bahwa ia telah dijodohkan oleh ayahnya namun ia tidak menyukainya. Lantas Rasulullah SAW memberikan pilihan itu kepada si gadis itu sendiri, apakah menerimanya atau menolaknya.
Demikian pula diriwayatkan bahwa Abdullah bin Umar ra. pernah diminta oleh ayahnya, Umar bin Khaththab ra. untuk menceraikan istrinya, tetapi beliau tidak melakukannya. Ketika kabar ini sampai kepada Rasulullah SAW beliau memerintahkan Abdullah bin Umar ra. untuk menceraikan istrinya.
9. Jika orang tua telah wafat, maka tetap diharuskan berbakti pada keduanya. Dari Abu Usaid ra., bahwa saat mereka sedang duduk-duduk di sisi Rasulullah SAW tiba-tiba datanglah seorang laki-laki dari Bani Salamah dan bertanya,” Ya, Rasulullah apakah aku bisa berbakti kepada kedua orang tuaku sedang mereka telah meninggal dunia?”
نَعَمِ
الصَّلَاةُ عَلَيْهِمَا وَالِاسْتِغْفَارُ لَهُمَا وَإِنْفَاذُ عَهْدِهِمَا مِنْ
بَعْدِهِمَا وَصِلَةُ الرَّحِمِ الَّتِي لَا تُوصَلُ إِلَّا بِهِمَا وَإِكْرَامُ
صَدِيقِهِمَا
“Ya, (1). Mensholatkan (jenazah)
keduanya, (2). Memohonkan ampun untuk keduanya, (3). Menepati janji keduanya
setelah mereka meninggal dunia, (4). Menyambung silaturahim yang tidak dapat
dihubungi melainkan karena keduanya, (5). Memuliakan teman-teman keduanya.” (HR Abu Daud)
Abdullah bin Umar ra. biasa jalan
keluar kota Mekkah dan membawa himar, apabila telah bosan ia menggantinya
dengan unta. Pada suatu hari ketika sedang menaiki himarnya ia bertemu dengan
seorang Arab Badui. Ia bertanya, “Bukankah engkau fulan bin fulan?” Orang itu menjawab, “Benar!” Seketika Abdullah bin Umar memberikan himar dan sorban yang sedang
dipakainya untuk orang tersebut. Kawan-kawan Ibnu Umar keheranan dan menegur
perbuatannya. Namun Ibnu Umar berkata, “Aku telah mendengar Rasulullah SAW bersabda:
إِنَّ أَبَرَّ الْبِرِّ صِلَةُ الْوَلَدِ
أَهْلَ وُدِّ أَبِيهِ
"Sesungguhnya sebaik-baik bakti
adlaah menghubungi bekas kawan-kawan ayah sepeninggalnya’ Dan ayah orang ini
adalah dahulu adalah teman ayahku.” (HR Muslim)
10. Tetap berbakti dan menyambung hubungan silaturahim,
meski mereka berbeda agama. Asma’ bin Abu Bakar ra. pernah dikunjungi bundanya
yang musyrik. Ia datang membawa anting-anting, kismis dan samin. Tetapi Asma’
tidak berani menerimanya, maka ia bertanya kepada Rasulullah sSAW Jawab Beliau, “Sambunglah (hubungan dengan) ibumu!” (HR Bukhari, Muslim).
11. Bersabar
saat menghadapi kekurangan atau permintaan orang tua. Ya, adakalanya orang tua
berbuat salah dan khilaf pada kita. Bahkan tidak sedikit orang tua yang
menelantarkan anak-anaknya, juga menyakiti mereka. Dendam pada mereka tak ada
artinya, tapi ucapan maaf yang tulus, dan tetap menjalin silaturahim adalah
kemuliaan yang tiada tara. Juga, janganlah mengulangi kesalahan mereka, jika
Allah menakdirkan kita sebagai orang tua kelak. Allah Azza wa Jalla berfirman:
“Dan jika keduanya memaksamu
untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang
itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia
dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya
kepada-Kulah kembalimu, maka Ku-beritakan kepadamu apa yang telah kamu
kerjakan.” (Luqman : 15)
Ketika orang
tua menyuruh anaknya berbuat maksiat sang anak tetap diminta oleh Allah untuk
bersabar dan tetap memperlakukan mereka dengan baik. Apalagi jika mereka
meminta satu hal yang dihalalkan agama, maka seorang anak harus berusaha
mengerjakannya sebaik mungkin. Al ustadz Ali Ash Shabuni dalam tafsir Ayat Ahkam-nya mencantumkan riwayat bahwa
ada seorang Arab Badui berusaha memenuhi keinginan berhaji ibunya yang sudah tua.
Maka selama berhaji sang anak menggendong ibunya tersebut.
Nah, apa yang sudah kita berikan
dan kerjakan untuk orang tua kita? Andai keduanya atau salah satunya masih
hidup, berbaktilah pada keduanya, ciumlah tangannya jika hendak bepergian,
mintalah ridhonya dalam setiap urusan, jangan bantah ucapannya, dan lunakkanlah
suara kita pada keduanya, juga jangan lupakan doakan dan mohonkan ampunan untuk
mereka berdua. Semoga Allah mencatat kita sebagai anak yang telah mengerjakan
birrul walidayn, dan mengumpulkan kita di surga bersama keduanya. Allahumma Amin.
Bentuk-bentuk
beruntuk baik kepada kedua orang tua ialah :
Pertama.
Bergaul dengan kedua orang tua dengan cara yg baik. Di dalam hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam disebutkan bahwa memberikan kegembiraan kepada seorang mu’min termasuk shadaqah, lebih utama lagi kalau memberikan kegembiraan kepada kedua orang tua kita.
Bergaul dengan kedua orang tua dengan cara yg baik. Di dalam hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam disebutkan bahwa memberikan kegembiraan kepada seorang mu’min termasuk shadaqah, lebih utama lagi kalau memberikan kegembiraan kepada kedua orang tua kita.
Dalam nasihat perkawinan
dikatakan agar suami senantiasa berbuat baik kepada istri, maka kepada kedua orang
tua harus lebih dari kepada istri. Karena dia yang melahirkan, mengasuh, mendidik dan
banyak jasa lain kepada kita.
Dalam suatu riwayat dikatakan
bahwa ketika seseorang meminta izin untuk berjihad (dalam hal ini fardhu
kifayah kecuali waktu diserang musuh maka fardhu ‘ain) dgn meninggalkan orang
tua dalam keadaan menangis, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
berkata, “Kembali dan untuklah kedua orang tua tertawa seperti engkau telah membuat kedua orang tua menangis” [Hadits Riwayat Abu Dawud dan Nasa’i] Dalam riwayat lain
dikatakan : “Berbaktilah kepada kedua orang tuamu” [Hadits Riwayat Bukhari dan
Muslim]
Kedua
Yaitu berkata kepada kedua orang tua dengan perkataan yang lemah lembut. Hendak dibedakan berbicara dengan kedua orang tua dan berbicara dengan anak, teman atau dengan yang lain. Berbicara dengan perkataan yang mulia dengan kedua orang tua, tidak boleh mengucapkan ‘ah’ apalagi mencemooh dan mencaci maki atau melaknat kedua orang tua karena ini merupakan dosa besar dan bentuk kedurhakaan kepada orang tua. Jika hal ini sampai terjadi, wal iya ‘udzubillah.
Yaitu berkata kepada kedua orang tua dengan perkataan yang lemah lembut. Hendak dibedakan berbicara dengan kedua orang tua dan berbicara dengan anak, teman atau dengan yang lain. Berbicara dengan perkataan yang mulia dengan kedua orang tua, tidak boleh mengucapkan ‘ah’ apalagi mencemooh dan mencaci maki atau melaknat kedua orang tua karena ini merupakan dosa besar dan bentuk kedurhakaan kepada orang tua. Jika hal ini sampai terjadi, wal iya ‘udzubillah.
Kita tidak boleh berkata kasar kepada orang tua kita, meskipun kedua beruntuk jahat kepada kita. Atau ada hak kita yang
ditahan oleh orang tua atau orang tua memukul kita atau kedua orang tua belum memenuhi
apa yang kita minta (misal biaya sekolah) walaupun mereka memiliki, kita tetap
tidak boleh durhaka kepada kedua orang tua.
Ketiga
Tawadhu (rendah diri). Tidak boleh kikir (sombong) apabila sudah meraih sukses atau mempunyai jabatan di dunia, karena sewaktu lahir kita berada dalam keadaan hina dan membutuhkan pertolongan. Kedua orang tualah yang menolong dengan memberi makan, minum, pakaian dan semuanya.
Tawadhu (rendah diri). Tidak boleh kikir (sombong) apabila sudah meraih sukses atau mempunyai jabatan di dunia, karena sewaktu lahir kita berada dalam keadaan hina dan membutuhkan pertolongan. Kedua orang tualah yang menolong dengan memberi makan, minum, pakaian dan semuanya.
Seandai kita diperintahkan untuk
melakukan pekerjaan yang kita anggap ringan dan merendahkan kita yang mungkin tidak
sesuai dengan kesuksesan atau jabatan kita dan bukan sesuatu yang haram, wajib bagi
kita untuk tetap taat kepada keduanya. Lakukan dengan senang hati karena hal tersebut
tidak akan menurunkan derajat kita, karena yang menyuruh ialah orang tua kita sendiri.
Hal itu merupakan kesempatan bagi kita untuk berbuat baik selagi kedua orang tua masih hidup.
Keempat
Yaitu memberikan infak (shadaqah) kepada kedua orang tua. Semua harta kita ialah milik orang tua. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala surat Al-Baqarah ayat 215.
"Mereka bertanya tentang apa yang mereka nafkahkan. Jawablah : "Apa saja harta yang kamu nafkahkan hendaklah diberikan kepada ibu-bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan". Dan apa saja kebaikan yang kamu buat, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui.
Yaitu memberikan infak (shadaqah) kepada kedua orang tua. Semua harta kita ialah milik orang tua. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala surat Al-Baqarah ayat 215.
"Mereka bertanya tentang apa yang mereka nafkahkan. Jawablah : "Apa saja harta yang kamu nafkahkan hendaklah diberikan kepada ibu-bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan". Dan apa saja kebaikan yang kamu buat, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui.
Jika seseorang sudah berkecukupan
dalam hal harta hendaklah ia menafkahkan yang pertama ialah kepada kedua orang
tuanya. Kedua orang tua memiliki hak tersebut sebagaimana firman Allah
Subhanahu wa Ta’ala dalam surat Al-Baqarah di atas. Kemudian kaum kerabat, nak yatim dan orang-orang yang dalam perjalanan. Berbuat baik yang pertama ialah kepada ibu
kemudian bapak dan yang lain, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam berikut.
“Arti : Hendaklah kamu berbuat baik kepada ibumu kemudian ibumu sekali lagi ibumu kemudian bapakmu kemudian orang
yang terdekat dan yang terdekat” [Hadits Riwayat Bukhari dalam Adabul Mufrad No. 3,
Abu Dawud No. 5139 dan Tirmidzi 1897, Hakim 3/642 dan 4/150 dari Mu’awiyah bin
Haidah, Ahmad 5/3,5 dan berkata Tirmidzi, “Hadits Hasan”]
Sebagian orang yang telah menikah
tidak menafkahkan harta lagi kepada orang tua karena takut kepada istrinya, hal ini tidak
dibenarkan. Yang mengatur harta ialah suami sebagaimana disebutkan bahwa laki-laki
ialah pemimpin bagi kaum wanita. Harus dijelaskan kepada istri bahwa kewajiban yang
utama bagi anak laki-laki ialah berbakti kepada ibu (kedua orang tuanya) setelah
Allah dan Rasul-Nya. Sedangkan kewajiban yang utama bagi wanita yang telah bersuami
setelah kepada Allah dan Rasul-Nya ialah kepada suaminya. Ketaatan kepada suami akan
membawa ke surga. Namun demikian suami hendak tetap memberi kesempatan atau
ijin agar istri dapat berinfaq dan berbuat baik lain kepada kedua orang tuanya.
Kelima
Mendo’akan orang tua. Sebagaimana dalam ayat “Robbirhamhuma kamaa rabbayaani shagiiro” (Wahai Rabb-ku kasihanilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku diwaktu kecil). Seandai orang tua belum mengikuti dakwah yang hak dan masih berbuat syirik serta bid’ah, kita harus tetap berlaku lemah lembut kepada keduanya. Dakwahkan kepada kedua orang tua dengan perkataan yang lemah lembut sambil berdo’a di malam hari, ketika sedang shaum, di hari Jum’at dan di tempat-tempat dikabulkan do’a agar ditunjuki dan dikembalikan ke jalan yang hak oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Mendo’akan orang tua. Sebagaimana dalam ayat “Robbirhamhuma kamaa rabbayaani shagiiro” (Wahai Rabb-ku kasihanilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku diwaktu kecil). Seandai orang tua belum mengikuti dakwah yang hak dan masih berbuat syirik serta bid’ah, kita harus tetap berlaku lemah lembut kepada keduanya. Dakwahkan kepada kedua orang tua dengan perkataan yang lemah lembut sambil berdo’a di malam hari, ketika sedang shaum, di hari Jum’at dan di tempat-tempat dikabulkan do’a agar ditunjuki dan dikembalikan ke jalan yang hak oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Apabila kedua orang tua telah
meninggal maka :
Yang pertama : Kita lakukan ialah
meminta ampun kepada Allah Ta’ala dengan taubat yg nasuh (benar) bila kita pernah
beruntuk durhaka kepada kedua orang tua sewaktu mereka masih hidup.
Yang kedua : Adalah mendo’akan
kedua orang tua kita.
Dalam sebuah hadits dha’if
(lemah) yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan Ibnu Hibban, seseorang pernah bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Apakah ada suatu kebaikan yang harus
aku perbuat kepada kedua orang tuaku sesudah wafat mereka ?” Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam menjawab, “Ya, kamu shalat atas keduanya, kamu istighfar kepada keduanya, kamu memenuhi janji keduanya, kamu silaturahmi kepada orang yang pernah
dia silaturahmi dan memuliakan teman-temannya” [Hadits ini
dilemahkan oleh beberapa imam ahli hadits karena di dalam sanad ada seorang rawi
yang lemah dan Syaikh Albani Rahimahullah melemahkan hadits ini dalam kitab
Misykatul Mashabiih dan juga dalam Tahqiq Riyadush Shalihin (Bahajtun Nazhirin
Syarah Riyadush Shalihin Juz I hal.413 hadits No. 343)]
Sedangkan menurut hadits-hadits
yg shahih tentang amal-amal yang diperuntuk untuk kedua orang tua yang sudah wafat,
ialah :
[1] Mendo’akannya
[2] Menshalatkan ketika orang tua
meninggal
[3] Selalu memintakan ampun untuk
keduanya.
[4] Membayarkan hutang-hutangnya
[5] Melaksanakan wasiat yang sesuai
dengan syari’at.
[6] Menyambung tali silaturrahmi
kepada orang yang kedua juga pernah menyambungnya
[Diringkas dari beberapa hadits
yg shahih]
Sebagaimana hadits Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari sahabat Abdullah bin Umar Radhiyallahu
‘anhuma.
“Arti : Aku mendengar Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguh termasuk kebaikan seseorang
ialah menyambung tali silaturrahmi kepada teman-teman bapak sesudah bapak meninggal”
[Hadits Riwayat Muslim No. 12, 13, 2552]
Dalam riwayat yg lain, Abdullah
bin Umar Radhiyallahu ‘anhuma menemui seorang badui di perjalanan menuju Mekah,
mereka orang-orang yg sederhana. Kemudian Abdullah bin Umar mengucapkan salam
kepada orang tersebut dan menaikkan ke atas keledai, kemudian sorban diberikan kepada orang badui tersebut, kemudian Abdullah bin Umar berkata, “Semoga Allah
membereskan urusanmu”. Kemudian Abdullah bin Umar Radhiyallahu ‘anhumua
berkata, “Sesungguh bapak orang ini ialah sahabat karib dengan Umar sedangkan aku
mendengar sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
“Arti : Sesungguh termasuk
kebaikan seseorang ialah menyambung tali silaturrahmi kepada teman-teman ayahnya”
[Hadits Riwayat Muslim 2552 (13)]
[Disalin dari Kitab Birrul
Walidain, edisi Indonesia Berbakti Kepada Kedua Orang Tua oleh Ustadz Yazid bin
Abdul Qadir Jawas, terbitan Darul Qolam - Jakarta]
Sumber Bentuk-Bentuk Berbakti
Kepada Orang Tua : http://alsofwah.or.id
Sumber : http://www.khadijahholle.co.vu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar