Minggu, 20 Oktober 2013

birrul walidayn


Rusaknya Sendi Keluarga
Hancurnya sebuah peradaban sering dimulai dari hancurnya keluarga. Keluarga adalah benteng terakhir yang mempertahankan nilai-nilai luhur, kasih sayang dan kebahagiaan. Ketika keluarga hancur maka seseorang yang tumbuh dewasa akan kehilangan acuan tentang makna hidup dan kebahagiaan. Fenomena ini benar-benar terjadi di Barat, termasuk di Amerika Serikat. Hal ini tampak dari semakin tingginya angka perceraian dan pada saat yang sama menurunnya minat orang untuk menikah (orang merasa lebih aman untuk hidup bersama tanpa ikatan).
Pada tahun 2003, misalnya, hanya terdapat tiap 1000 penduduk 7,5 pernikahan baru dan sebaliknya 3,8 perceraian. Selain perceraian, kasus bunuh diri terjadi tiap 16 menit sekali di AS dan setiap kasus menimbulkan dampak sosial pada minimal enam orang.
Walhasil semakin banyak anak-anak yang tumbuh hanya dengan satu orang tua (single parent), baik karena perceraian maupun kehamilan di luar nikah. Di AS pada tahun 2002 terdapat 21,5 juta anak seperti ini (pada 13,4 juta orangtua tunggal). Tiap 5 dari 6 orang tua tunggal ini adalah wanita. Anak yang dibesarkan dari orangtua tunggal terbukti cenderung lebih mudah terjebak dalam kriminalitas, kehamilan di usia belasan tahun atau kecanduan narkoba. Fenomena ini bukan monopoli AS, namun juga dapat diamati di hampir semua negara Barat .
Selain itu mereka juga mengkampanyekan orang tua tunggal, pasangan sejenis, dan hubungan seks pranikah. Di beberapa negara seperti Belanda dan Kanada, pernikahan sejenis telah dilegalkan bahkan direstui oleh gereja.
Kecanggihan teknologi tanpa tuntunan syari’at juga berpotensi menghancurkan nasab manusia. Kini, orang sering merekomendasikan kehadiran anak melalui teknologi kloning, inseminasi buatan, bank sperma dan bayi tabung, tanpa mengindahkan ikatan suami-istri. Semua itu berujung pada hancurnya silsilah atau garis keturunan sebuah keluarga.
Kapitalisme yang bersendikan kebebasan perilaku (hurriyah asy syakhsiyah) telah merampas keutuhan keluarga dan kebahagiaan seorang anak, yakni memiliki kedua orang tua. Bagaimanapun juga, seorang anak, layaknya mahluk hidup, membutuhkan keutuhan kasih sayang dari kedua orang tuanya. Figur ibu membentuk karakter kelembutan dan ayah memberinya teladan kepemimpinan dan ketegasan. Bahkan hewan-hewan sekalipun membutuhkan keberadaan kedua orang tuanya.
Runtuhnya pilar-pilar keluarga juga ditunjukkan dengan putusnya hubungan anak dengan orang tua. Di banyak negara yang menganut paham kapitalisme, hubungan orang tua dilepaskan dari tanggung jawab terhadap anak saat sang anak beranjak dewasa. Sedangkan para anak umumnya mengirim orang tuanya yang sudah tua ke panti jompo.
Dalam sistem komunis, anak-anak adalah milik negara. Hal ini sesuai dengan doktrin ideologi mereka, menghilangkan kepemilikan termasuk pada anak-anak. Pemerintah berhak mengambil anak-anak dari orang tua mereka jika dibutuhkan. Sebagian dari anak-anak itu dilatih menjadi tentara dan agen rahasia pemerintah komunis, seperti KGB di Uni Soviet.
Orang Tua Menurut Islam
Dalam Islam, muamalah dengan orang tua mendapatkan pembahasan yang amat mendalam. Islam telah menempatkan orang tua sebagai manusia yang patut dimuliakan oleh anak-anak mereka. Dalam Al Qur’an berulangkali Allah Swt. mengingatkan kaum muslimin akan kewajiban birrul walidayn (berbakti pada orang tua). Terdapat 14 tempat dalam Al Qur’an yang membahas kewajiban berbakti dan mendoakan kedua orang tua. Ayat-ayat itu adalah :
-Al Baqarah : 83, 180, 215
-An Nisa : 36
-Al An’am : 151
-Al Isra’ : 23
-Luqman : 14
-Maryam : 14
-Al Ankabut : 8
-Al Ahqaf : 15, 17
-Ibrahim : 41
-An Naml : 19
-Nuh : 28
Dalam sejumlah ayat seperti dalam surat An Nisa ayat 36, Allah Ta’ala menggandengkan perintah berbakti pada orang tua dengan menyembah Diri-Nya, tidak mempersekutukan-Nya. Memperlihatkan betapa besarnya nilai berbakti pada kedua orang tua. Firman-Nya:
وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَى وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالْجَنْبِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ مَنْ كَانَ مُخْتَالًا فَخُورًا
“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri.”
Perintah ini dipertegas lagi dalam hadits Nabi SAW, yang menggolongkan durhaka pada orang tua sebagai dosa besar. Sabdanya:
الْإِشْرَاكُ بِاللَّهِ وَعُقُوقُ الْوَالِدَيْنِ وَقَتْلُ النَّفْسِ وَشَهَادَةُ الزُّورِ
“[Dosa besar] adalah mempersekutukan Allah, durhaka pada kedua orang tua, membunuh manusia, dan bersaksi palsu.” (HR Bukhari)
Nabi SAW juga mengingatkan akan besarnya kebaikan orang tua sampai-sampai seorang anak tidak akan mampu membalas kebaikannya. Sabda beliau:
لَا يَجْزِي وَلَدٌ وَالِدًا إِلَّا أَنْ يَجِدَهُ مَمْلُوكًا فَيَشْتَرِيَهُ فَيُعْتِقَهُ
“Seorang anak tidak bisa membalas budi baik ayahnya kecuali jika ia mendapatinya menjadi budak, kemudian ia membelinya dan membebaskannya.” (HR Muslim)
Selain itu, berbakti pada orang tua akan memberikan ganjaran yang besar bagi anak-anak mereka. Surga Allah akan terbentang lebar bagi siapa saja yang melakukannya. Bahkan amal berjihad di jalan Allah pun tidak bisa mengalahkan keutamaan berbakti pada kedua orang tua. Diriwayatkan oleh Imam Muslim sebagai berikut:
أَيُّ الْعَمَلِ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ قَالَ الصَّلَاةُ عَلَى وَقْتِهَا قَالَ ثُمَّ أَيٌّ قَالَ ثُمَّ بِرُّ الْوَالِدَيْنِ قَالَ ثُمَّ أَيٌّ قَالَ الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ
Abdullah bin Mas’ud ra pernah mendatangi Nabi saw. dan bertanya, “Amal apakah yang paling utama?” Beliau menjawab, “Sholat pada waktunya,” lalu ia bertanya lagi, “Kemudian apa lagi?” Beliau menjawab, “Berbakti pada kedua orang tua,” lalu ia bertanya lagi, “Lalu apa lagi?” Beliau menjawab, “Berjihad di jalan Allah.” (HR Bukhari)
Kemudian dalam hadits Imam Muslim diriwayatkan bahwa ada seorang pria mendatangi Nabi Muhammad SAW dan berbay’at serta ingin berjihad. Nabi kemudian menyuruhnya kembali untuk mengurus kedua orang tuanya.
أَقْبَلَ رَجُلٌ إِلَى نَبِيِّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ أُبَايِعُكَ عَلَى الْهِجْرَةِ وَالْجِهَادِ أَبْتَغِي الْأَجْرَ مِنَ اللَّهِ قَالَ فَهَلْ مِنْ وَالِدَيْكَ أَحَدٌ حَيٌّ قَالَ نَعَمْ بَلْ كِلَاهُمَا قَالَ فَتَبْتَغِي الْأَجْرَ مِنَ اللَّهِ قَالَ نَعَمْ قَالَ فَارْجِعْ إِلَى وَالِدَيْكَ فَأَحْسِنْ صُحْبَتَهُمَا
“Seorang laki-laki mendatangi Nabi saw. dan berkata, ”Aku membay’atmu untuk berhijrah dan berjihad dan mengharap pahala dari Allah.” Rasulullah SAW bertanya, “Apakah ada salah seorang dari orangtuamu masih hidup?” Ia menjawab, “Bahkan keduanya masih hidup!” Nabi Muhammad SAW berkata, “Kau mengharap pahala dari Allah?” Ia menjawab, “Benar” Nabi Muhammad SAW berkata lagi,“Pulanglah kepada orang tuamu dan perbaikilah pelayanan kepada keduanya.” (HR Muslim)
Sebaliknya, anak-anak yang menelantarkan kedua orang tuanya, membuang kesempatan berbakti pada mereka amat merugi. Nabi Muhammad SAW bersabda:
رَغِمَ أَنْفُ ثُمَّ رَغِمَ أَنْفُ ثُمَّ رَغِمَ أَنْفُ قِيلَ مَنْ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ مَنْ أَدْرَكَ أَبَوَيْهِ عِنْدَ الْكِبَرِ أَحَدَهُمَا أَوْ كِلَيْهِمَا فَلَمْ يَدْخُلِ الْجَنَّةَ
“Sungguh merugi, sungguh merugi, sungguh merugi!” kata Nabi saw. Lalu ditanyakan, “Siapa ya, Rasulullah?” Beliau menjawab,“Orang yang mendapati kedua orang tuanya atau salah satu dari keduanya saat ia dewasa, tapi tidak masuk ke dalam surga (karena tidak berbakti pada mereka – penulis)” (HR Muslim)
Abdullah bin Umar ra. pernah berkata pada seseorang, “Apakah engkau takut masuk neraka dan ingin masuk surga?” pria itu menjawab, “Tentu!” Ibnu Umar berkata, “Kalau begitu, berbaktilah kepada ibumu. Demi Allah, kalau engkau berbicara padanya dengan lembut dan memberinya makan, niscaya engkau akan masuk surga, selama dosa-dosa besar engkau hindari.”
Suatu ketika Ibnu Abbas ra. pernah ditanya seseorang tentang seorang suami yang membunuh istrinya, “Apakah tobat yang layak baginya?” Dia menjawab, “Jika dia masih mempunyai orang tua, berbaktilah kepada mereka. Mudah-mudahan dengan amalnya itu Allah mengampuninya.” Jawaban yang serupa juga ia berikan untuk pertobatan seorang wanita yang mempelajari ilmu sihir.
Bermuamalah Dengan Orang Tua
Syaikh Umar Bakr Muhammad menyebutkan ada 10 hak orang tua yang wajib ditunaikan oleh anaknya, yakni:
1. Al Ta’am (memberi nafkah atau makan). Jika orang tua tidak mempunyai makanan maka kewajiban bagi anak-anaknya memberi makan pada orang tuanya.
2. Al-Maskan (Memberi Tempat Berlindung). Jika orang tua tidak mempunyai tempat berlindung maka kewajiban anak-anaknya untuk memberi tempat berlindung bagi orang tuanya.
3. Al-Himayyah (Memberi Perlindungan). Kewajiban bagi seorang anak untuk melindungi orangtuanya dari marabahaya atau kekerasan atau melakukan sesuatu yang bertentang dengan Islam.
4. Al-Tibaba (Memberi Pengobatan). Kewajiban untuk memberi pengobatan yang baik kepada orang tuannya disaat mereka jatuh sakit.
5. Al-Dain (Hutang). Apabila orang tua meninggal dan masih mempunyai hutang maka si anak harus dapat memastikan hutangnya terbayar.
6. Al-Nasab (Garis Keturunan). Anak-anak dilarang untuk menghina dan mencela orang tuannya sendiri.
7. Al-Janazah (Sholat Janazah). Anak-anak wajib mensholati orang tuanya jika mereka meninggal dunia dan segera menguburkannya secara Islam.
8. Al-Wasiyyah. Anak-anak harus memenuhi permintaan orang tuanya sebelum meninggal atau apapun yang  telah mereka tulis dalam surat.
9. Al-Du’a (Doa). Anak wajib mendoakan orang tuanya dan memohonkan ampun atas segala dosanya.
10. Al-Malbas (Memberi Pakaian). Wajib bagi anak untuk memberi pakaian kepada orang tuanya jika mereka    memerlukan.

Muamalah dengan orang tua harus dilakukan dengan cara terbaik. Hal itu adalah titian menuju surga  Allah SWT. Rasulullah SAW bersabda:
“Orang yang durhaka kepada kedua orang tuanya akan berbuat apa saja yang ia kehendaki, dan niscaya dia tidak akan masuk surga. Sebaliknya, orang yang baik (pada keduanya) tidak akan masuk neraka.” (HR Ad Dailamiy)
Adapun bentuk hubungan (as suhbah) yang diatur oleh syara’ adalah sebagai berikut:
1. Wajib memperlakukan mereka dengan baik dan mematuhi segala perintahnya selama tidak bertentangan dengan syara’. Firman Allah Ta’ala:
وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا
“Sembahlah Allah dan janganlah mempersekutukannya dengan yang lain dan terhadap orang tua berbuat baiklah,” (An Nisa : 36)
Rasulullah SAW bersabda:
رِضَى الرَّبِّ فِي رِضَى الْوَالِدِ وَسَخَطُ الرَّبِّ فِي سَخَطِ الْوَالِدِ
“Ridlo Tuhan ada pada ridlo orang tua, dan murka Tuhan ada para kemurkaan orang tua.” (HR. Tirmidzi)
Diriwayatkan bahwa pada suatu malam Abdullah bin Mas’ud ra. pernah diminta ibunya membawakan air untuknya. Ia pun mengambilnya. Ketika ia kembali dan membawanya, ibunya telah tertidur. Akhirnya Ibnu Mas’ud duduk dekat kepala ibunya dengan terus memegangi wadah air itu hingga subuh.


2. Tidak berkata dan bersikap kasar kepada keduanya. Firman Allah Ta’ala:
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.” (Al Isra : 23)
Suatu hari Abdullah bin Awn, seorang ulama salaf, pernah dipanggil oleh ibunya. Ia menjawab dengan nada yang lebih tinggi dari suara ibunya. Tapi ia teringat dengan kewajiban bersuara lembut pada orang tua, seketika menebus kesalahannya dengan memerdekakan dua orang hamba sahaya.


3. Wajib menafkahi kedua orang tua seandainya mereka sudah tidak mampu lagi mencari nafkah. Kedua orang tua termasuk kelompok keluarga yang wajib ditanggung nafkahnya oleh anak-anaknya. Nafkah ini termasuk tempat tinggal, kesehatan dan perlindungan.

4. Jika memberi makanan maka berilah makanan yang terbaik. Diriwayatkan bahwa pada masa Khalifah Utsman bin Affan ra. harga kurma mencapai 1000 dirham. Akan tetapi Usamah bin Zaid malah membelah kurma-kurmanya lalu mengeluarkanjummar (daging kurma yang paling lunak) untuk diberikan kepada ibunya. Orang-orang keheranan dan bertanya, “Mengapa engkau lakukan itu, padahal engkau tahu, sekarang harga kurma bisa mencapai 1000 dirham?” Usamah menjawab, “Ibuku memintanya. Apapun yang ibuku minta, jika aku bisa melakukannya, pasti aku penuhi.”

5. Jika mereka menyuruh berbuat maksiat, maka wajib menolaknya namun tetap bergaul dengan mereka dengan cara yang ma’ruf. Firman Allah Ta’ala:
“Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka Ku-beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” (Luqman: 15)


6. Mendoakan keduanya, karena doa seorang anak yang saleh akan memberikan pahala pada kedua orang tuanya. Sabda Nabi Muhammad SAW :
إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ إِلَّا مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
“Jika manusia mati maka terputuslah amalnya kecuali tiga perkara; shadaqah jariah, ilmu yang dimanfaatkan, dan anak soleh yang mendoakannya.” (HR Muslim)
Di antara doa yang dianjurkan dan tercantum dalam Al Qur’an adalah:
رَبَّنَا اغْفِرْ لِي وَلِوَالِدَيَّ وَلِلْمُؤْمِنِينَ يَوْمَ يَقُومُ الْحِسَابُ
“Ya Tuhan kami, beri ampunlah aku dan kedua ibu bapakku dan sekalian orang-orang mu’min pada hari terjadinya hisab (hari kiamat)”. (Ibrahim : 43)
رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَى وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضَاهُ وَأَصْلِحْ لِي فِي ذُرِّيَّتِي إِنِّي تُبْتُ إِلَيْكَ وَإِنِّي مِنَ الْمُسْلِمِينَ
“Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri ni`mat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridhai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri” (Al Ahqaf : 15).


7. Bagi para gadis wajib meminta izin kepada ayahnya jika akan melakukan kegiatan di luar rumah seperti mencari ilmu, berdakwah dan bekerja. Hal ini dikarenakan seorang gadis berada dalam perwalian ayahnya. Rasulullah SAW bersabda:
اَلْوَالَدُ اَوْسَطُ اَبْوَابِ الْجَنَّةِ فَحَافِظْ عَلَى ذَلِكَ إِنْ شِئْتَ اَوْ دَعْ
“Ayah itu menduduki pertengahan pintu-pintu surga, karena itu peliharalah pintu itu kalau kalian mau, atau tinggalkanlah (dengan segala akibatnya).” (HR Ibnu Hibban)
Imam Baidlawi menjelaskan arti dan maksud dari hadits tersebut bahwa sebaik-baik titipan pelintas masuk surga dan mencapai derajat yang tinggi ialah dengan jalan mematuhi perintah seorang ayah dan berbakti padanya. Ketaatan pada ayah juga ditegaskan dalam hadits yang lain:
طاَعَةُ اللهِ طَاعَةُ الْوَالِدِ وَ مَعْصِيَةُ اللهِ مَعْصِيَةُ الْوَالِدِ
“Taat kepada Allah adalah sama halnya dengan taat kepada ayah. Berbuat maksiat kepada Allah sama halnya dengan berbuat maksiat keapda seorang ayah.” (HR Imam Ath Thabari
Ustadz Abdurrahman Al Baghdadi menjelaskan seandainya larangan tersebut keras maka wajib mematuhinya, tapi boleh mengerjakannya jika larangan hanya berupa anjuran/himbauan.

8. Dianjurkan (mandub/sunnah) mengikuti keinginan orang tua dalam hal selain yang wajib/fardhu menurut syara’, seperti urusan jodoh, pemilihan tempat tinggal, pekerjaan, dsb. Hal ini dikarenakan adanya dua jenis nash; pertama, yang mewajibkan setiap muslim untuk menaati orang tua. Kedua, ada nash yang mengizinkan seorang anak untuk mengambil keputusannya sendiri. Nash itu adalah seorang gadis yang bercerita kepada Rasulullah SAW bahwa ia telah dijodohkan oleh ayahnya namun ia tidak menyukainya. Lantas Rasulullah SAW memberikan pilihan itu kepada si gadis itu sendiri, apakah menerimanya atau menolaknya.

Demikian pula diriwayatkan bahwa Abdullah bin Umar ra. pernah diminta oleh ayahnya, Umar bin Khaththab ra. untuk menceraikan istrinya, tetapi beliau tidak melakukannya. Ketika kabar ini sampai kepada Rasulullah SAW beliau memerintahkan Abdullah bin Umar ra. untuk menceraikan istrinya.

9. Jika orang tua telah wafat, maka tetap diharuskan berbakti pada keduanya. Dari Abu Usaid ra., bahwa saat mereka sedang duduk-duduk di sisi Rasulullah SAW tiba-tiba datanglah seorang laki-laki dari Bani Salamah dan bertanya,” Ya, Rasulullah apakah aku bisa berbakti kepada kedua orang tuaku sedang mereka telah meninggal dunia?”
نَعَمِ الصَّلَاةُ عَلَيْهِمَا وَالِاسْتِغْفَارُ لَهُمَا وَإِنْفَاذُ عَهْدِهِمَا مِنْ بَعْدِهِمَا وَصِلَةُ الرَّحِمِ الَّتِي لَا تُوصَلُ إِلَّا بِهِمَا وَإِكْرَامُ صَدِيقِهِمَا
“Ya, (1). Mensholatkan (jenazah) keduanya, (2). Memohonkan ampun untuk keduanya, (3). Menepati janji keduanya setelah mereka meninggal dunia, (4). Menyambung silaturahim yang tidak dapat dihubungi melainkan karena keduanya, (5). Memuliakan teman-teman keduanya.” (HR Abu Daud)
Abdullah bin Umar ra. biasa jalan keluar kota Mekkah dan membawa himar, apabila telah bosan ia menggantinya dengan unta. Pada suatu hari ketika sedang menaiki himarnya ia bertemu dengan seorang Arab Badui. Ia bertanya, “Bukankah engkau fulan bin fulan?” Orang itu menjawab, “Benar!” Seketika Abdullah bin Umar memberikan himar dan sorban yang sedang dipakainya untuk orang tersebut. Kawan-kawan Ibnu Umar keheranan dan menegur perbuatannya. Namun Ibnu Umar berkata, “Aku telah mendengar Rasulullah SAW bersabda:
إِنَّ أَبَرَّ الْبِرِّ صِلَةُ الْوَلَدِ أَهْلَ وُدِّ أَبِيهِ
"Sesungguhnya sebaik-baik bakti adlaah menghubungi bekas kawan-kawan ayah sepeninggalnya’ Dan ayah orang ini adalah dahulu adalah teman ayahku.” (HR Muslim)


10. Tetap berbakti dan menyambung hubungan silaturahim, meski mereka berbeda agama. Asma’ bin Abu Bakar ra. pernah dikunjungi bundanya yang musyrik. Ia datang membawa anting-anting, kismis dan samin. Tetapi Asma’ tidak berani menerimanya, maka ia bertanya kepada Rasulullah sSAW Jawab Beliau, “Sambunglah (hubungan dengan) ibumu!” (HR Bukhari, Muslim).

11. Bersabar saat menghadapi kekurangan atau permintaan orang tua. Ya, adakalanya orang tua berbuat salah dan khilaf pada kita. Bahkan tidak sedikit orang tua yang menelantarkan anak-anaknya, juga menyakiti mereka. Dendam pada mereka tak ada artinya, tapi ucapan maaf yang tulus, dan tetap menjalin silaturahim adalah kemuliaan yang tiada tara. Juga, janganlah mengulangi kesalahan mereka, jika Allah menakdirkan kita sebagai orang tua kelak. Allah Azza wa Jalla berfirman:
“Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka Ku-beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” (Luqman : 15)
Ketika orang tua menyuruh anaknya berbuat maksiat sang anak tetap diminta oleh Allah untuk bersabar dan tetap memperlakukan mereka dengan baik. Apalagi jika mereka meminta satu hal yang dihalalkan agama, maka seorang anak harus berusaha mengerjakannya sebaik mungkin. Al ustadz Ali Ash Shabuni dalam tafsir Ayat Ahkam-nya mencantumkan riwayat bahwa ada seorang Arab Badui berusaha memenuhi keinginan berhaji ibunya yang sudah tua. Maka selama berhaji sang anak menggendong ibunya tersebut.
Nah, apa yang sudah kita berikan dan kerjakan untuk orang tua kita? Andai keduanya atau salah satunya masih hidup, berbaktilah pada keduanya, ciumlah tangannya jika hendak bepergian, mintalah ridhonya dalam setiap urusan, jangan bantah ucapannya, dan lunakkanlah suara kita pada keduanya, juga jangan lupakan doakan dan mohonkan ampunan untuk mereka berdua. Semoga Allah mencatat kita sebagai anak yang telah mengerjakan birrul walidayn, dan mengumpulkan kita di surga bersama keduanya. Allahumma Amin.
Bentuk-bentuk beruntuk baik kepada kedua orang tua ialah :
Pertama.
Bergaul dengan kedua 
orang tua dengan cara yg baik. Di dalam hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam disebutkan bahwa memberikan kegembiraan kepada seorang mu’min termasuk shadaqah, lebih utama lagi kalau memberikan kegembiraan kepada kedua orang tua kita.
Dalam nasihat perkawinan dikatakan agar suami senantiasa berbuat baik kepada istri, maka kepada kedua orang tua harus lebih dari kepada istri. Karena dia yang melahirkan, mengasuh, mendidik dan banyak jasa lain kepada kita.
Dalam suatu riwayat dikatakan bahwa ketika seseorang meminta izin untuk berjihad (dalam hal ini fardhu kifayah kecuali waktu diserang musuh maka fardhu ‘ain) dgn meninggalkan orang tua dalam keadaan menangis, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Kembali dan untuklah kedua orang tua tertawa seperti engkau telah membuat kedua orang tua menangis” [Hadits Riwayat Abu Dawud dan Nasa’i] Dalam riwayat lain dikatakan : “Berbaktilah kepada kedua orang tuamu” [Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim]
Kedua
Yaitu berkata kepada kedua 
orang tua dengan perkataan yang lemah lembut. Hendak dibedakan berbicara dengan kedua orang tua dan berbicara dengan anak, teman atau dengan yang lain. Berbicara dengan perkataan yang mulia dengan kedua orang tua, tidak boleh mengucapkan ‘ah’ apalagi mencemooh dan mencaci maki atau melaknat kedua orang tua karena ini merupakan dosa besar dan bentuk kedurhakaan kepada orang tua. Jika hal ini sampai terjadi, wal iya ‘udzubillah.
Kita tidak boleh berkata kasar kepada orang tua kita, meskipun kedua beruntuk jahat kepada kita. Atau ada hak kita yang ditahan oleh orang tua atau orang tua memukul kita atau kedua orang tua belum memenuhi apa yang kita minta (misal biaya sekolah) walaupun mereka memiliki, kita tetap tidak boleh durhaka kepada kedua orang tua.
Ketiga
Tawadhu (rendah diri). Tidak boleh kikir (sombong) apabila sudah meraih sukses atau mempunyai jabatan di dunia, karena sewaktu lahir kita berada dalam keadaan hina dan membutuhkan pertolongan. Kedua orang tualah yang menolong dengan memberi makan, minum, pakaian dan semuanya.
Seandai kita diperintahkan untuk melakukan pekerjaan yang kita anggap ringan dan merendahkan kita yang mungkin tidak sesuai dengan kesuksesan atau jabatan kita dan bukan sesuatu yang haram, wajib bagi kita untuk tetap taat kepada keduanya. Lakukan dengan senang hati karena hal tersebut tidak akan menurunkan derajat kita, karena yang menyuruh ialah orang tua kita sendiri. Hal itu merupakan kesempatan bagi kita untuk berbuat baik selagi kedua orang tua masih hidup.
Keempat
Yaitu memberikan infak (shadaqah) kepada kedua orang tua. Semua harta kita ialah milik orang tua. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala surat Al-Baqarah ayat 215.

"Mereka bertanya tentang apa yang mereka nafkahkan. Jawablah : "Apa saja harta yang kamu nafkahkan hendaklah diberikan kepada ibu-bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan". Dan apa saja kebaikan yang kamu buat, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui.
Jika seseorang sudah berkecukupan dalam hal harta hendaklah ia menafkahkan yang pertama ialah kepada kedua orang tuanya. Kedua orang tua memiliki hak tersebut sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam surat Al-Baqarah di atas. Kemudian kaum kerabat, nak yatim dan orang-orang yang dalam perjalanan. Berbuat baik yang pertama ialah kepada ibu kemudian bapak dan yang lain, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut.
“Arti : Hendaklah kamu berbuat baik kepada ibumu kemudian ibumu sekali lagi ibumu kemudian bapakmu kemudian orang yang terdekat dan yang terdekat” [Hadits Riwayat Bukhari dalam Adabul Mufrad No. 3, Abu Dawud No. 5139 dan Tirmidzi 1897, Hakim 3/642 dan 4/150 dari Mu’awiyah bin Haidah, Ahmad 5/3,5 dan berkata Tirmidzi, “Hadits Hasan”]
Sebagian orang yang telah menikah tidak menafkahkan harta lagi kepada orang tua karena takut kepada istrinya, hal ini tidak dibenarkan. Yang mengatur harta ialah suami sebagaimana disebutkan bahwa laki-laki ialah pemimpin bagi kaum wanita. Harus dijelaskan kepada istri bahwa kewajiban yang utama bagi anak laki-laki ialah berbakti kepada ibu (kedua orang tuanya) setelah Allah dan Rasul-Nya. Sedangkan kewajiban yang utama bagi wanita yang telah bersuami setelah kepada Allah dan Rasul-Nya ialah kepada suaminya. Ketaatan kepada suami akan membawa ke surga. Namun demikian suami hendak tetap memberi kesempatan atau ijin agar istri dapat berinfaq dan berbuat baik lain kepada kedua orang tuanya.
Kelima
Mendo’akan orang tua. Sebagaimana dalam ayat “Robbirhamhuma kamaa rabbayaani shagiiro” (Wahai Rabb-ku kasihanilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku diwaktu kecil). Seandai orang tua belum mengikuti dakwah yang hak dan masih berbuat syirik serta bid’ah, kita harus tetap berlaku lemah lembut kepada keduanya. Dakwahkan kepada kedua orang tua dengan perkataan yang lemah lembut sambil berdo’a di malam hari, ketika sedang shaum, di hari Jum’at dan di tempat-tempat dikabulkan do’a agar ditunjuki dan dikembalikan ke jalan yang hak oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Apabila kedua orang tua telah meninggal maka :
Yang pertama : Kita lakukan ialah meminta ampun kepada Allah Ta’ala dengan taubat yg nasuh (benar) bila kita pernah beruntuk durhaka kepada kedua orang tua sewaktu mereka masih hidup.
Yang kedua : Adalah mendo’akan kedua orang tua kita.
Dalam sebuah hadits dha’if (lemah) yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan Ibnu Hibban, seseorang pernah bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Apakah ada suatu kebaikan yang harus aku perbuat kepada kedua orang tuaku sesudah wafat mereka ?” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Ya, kamu shalat atas keduanya, kamu istighfar kepada keduanya, kamu memenuhi janji keduanya, kamu silaturahmi kepada orang yang pernah dia silaturahmi dan memuliakan teman-temannya” [Hadits ini dilemahkan oleh beberapa imam ahli hadits karena di dalam sanad ada seorang rawi yang lemah dan Syaikh Albani Rahimahullah melemahkan hadits ini dalam kitab Misykatul Mashabiih dan juga dalam Tahqiq Riyadush Shalihin (Bahajtun Nazhirin Syarah Riyadush Shalihin Juz I hal.413 hadits No. 343)]
Sedangkan menurut hadits-hadits yg shahih tentang amal-amal yang diperuntuk untuk kedua orang tua yang sudah wafat, ialah :
[1] Mendo’akannya
[2] Menshalatkan ketika orang tua meninggal
[3] Selalu memintakan ampun untuk keduanya.
[4] Membayarkan hutang-hutangnya
[5] Melaksanakan wasiat yang sesuai dengan syari’at.
[6] Menyambung tali silaturrahmi kepada orang yang kedua juga pernah menyambungnya
[Diringkas dari beberapa hadits yg shahih]
Sebagaimana hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari sahabat Abdullah bin Umar Radhiyallahu ‘anhuma.
“Arti : Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguh termasuk kebaikan seseorang ialah menyambung tali silaturrahmi kepada teman-teman bapak sesudah bapak meninggal” [Hadits Riwayat Muslim No. 12, 13, 2552]
Dalam riwayat yg lain, Abdullah bin Umar Radhiyallahu ‘anhuma menemui seorang badui di perjalanan menuju Mekah, mereka orang-orang yg sederhana. Kemudian Abdullah bin Umar mengucapkan salam kepada orang tersebut dan menaikkan ke atas keledai, kemudian sorban diberikan kepada orang badui tersebut, kemudian Abdullah bin Umar berkata, “Semoga Allah membereskan urusanmu”. Kemudian Abdullah bin Umar Radhiyallahu ‘anhumua berkata, “Sesungguh bapak orang ini ialah sahabat karib dengan Umar sedangkan aku mendengar sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
“Arti : Sesungguh termasuk kebaikan seseorang ialah menyambung tali silaturrahmi kepada teman-teman ayahnya” [Hadits Riwayat Muslim 2552 (13)]
[Disalin dari Kitab Birrul Walidain, edisi Indonesia Berbakti Kepada Kedua Orang Tua oleh Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas, terbitan Darul Qolam - Jakarta]
Sumber Bentuk-Bentuk Berbakti Kepada Orang Tua : http://alsofwah.or.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar