Selasa, 03 Desember 2013

Bunga


Ya Rabb….
Izinkan aku menjadi sekuntum bunga, 
Yang dihiasi dengan kelopak akhlaq mulia,
Harum wanginya dengan ilmu agama,
Cantiknya kaerna iman dan taqwa,
Namun keindahan zahirnya kusimpan rapi,
Biar menjadi rahasia yang kekal abadi,
Bukan perhatian mata lelaki ajnabi,
Yang menjadi puncak fitnah hati.
Illahi Rabbi…
Tumbuhkanlah duri yang memagari diri,
Agar diriku terpelihara dari noda duniawi,
Yang akan menghilangkan keharuman sejati,
Yang akan memudarkan kecantikan diri.
Dibalik kekurangan yang tercipta,
Bukanlah alasan untuk bermuram durja,
Karena setiap yang tercipta ada hikmahnya.
Izinkan ya Allah agarku menjadi permata,
Tetap menyinar walau di lumpur hina,
Tetap berharga walau dimana saja…
Buat ummat dan juga keluarga,
Izinkan aku menjadi seindah mawar berduri,
Yang menjadi impian setiap muslimah,
Yang indahnya bukan untuk lelaki,
Tapi permata untuk yang bernama suami..
Amin Allahumma Aamiin….
firanda andirja

Tabarruj


TABARRUJ, DANDANAN ALA JAHILIYAH WANITA MODERN
Oleh :Ustadz Abdullah bin Taslim Al-Buthoni, MA

Bentuk-Bentuk Tabarruj
[ Ringkasan dari pembahasan dalam kitab “al-‘Ajabul ‘ujaab fi asykaalil hijaab” (hal. 87-109), tulisan syaikh ‘Abdul Malik bin Ahmad Ramadhani, dengan sedikit tambahan.]
1. Termasuk tabarruj: Mengenakan jilbab yang tidak menutupi dan meliputi seluruh badan wanita, seperti jilbab yang diturunkan dari kedua pundak dan bukan dari atas kepala
[ Lihat “fataawa lajnah daimah” (17/141)].
Ini bertentangan dengan makna firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

يُدْنِيْنَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلاَبِيْبِهِنَّ

“Hendaknya mereka mengulurkan jilbab mereka ke seluruh tubuh mereka” [al-Ahzaab: 59].

Karena jilbab seperti ini akan membentuk/mencetak bagian atas tubuh wanita dan ini jelas bertentangan dengan jilbab yang sesuai syariat Islam.
2. Termasuk tabarruj: Mengenakan jilbab/pakaian yang terpotong dua bagian, yang satu untuk menutupi tubuh bagian atas dan yang lain untuk bagian bawah.
Ini jelas bertentangan dengan keterangan para ulama yang menjelaskan bahwa jilbab itu adalah satu pakaian yang menutupi seluruh tubuh wanita dari atas sampai ke bawah, sehingga tidak membentuk bagian-bagian tubuh wanita yang memakainya.
3. Termasuk tabarruj : Memakai jilbab yang justru menjadi perhiasan bagi wanita yang mengenakannya.
Hikmah besar disyariatkan memakai jilbab bagi wanita ketika keluar rumah adalah untuk menutupi kecantikan dan perhiasannya dari pandangan laki-laki yang bukan mahramnya, sebagaimana firman-Nya:

وَلاَ يُبْدِيْنَ زِيْنَتَهُنَّ إلا لِبُعُوْلَتِهِنَّ أو آبائِهِنَّ…

“Dan janganlah mereka (wanita-wanita yang beriman) menampakkan perhiasan mereka kecuali kepada suami-suami mereka, atau bapak-bapak mereka…” [an-Nuur: 31].
Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah berkata:
“Tujuan diperintahkannya (memakai) jilbab (bagi wanita) adalah untuk menutupi perhiasannya, maka tidak masuk akal jika jilbab (yang dipakainya justru) menjadi perhiasan (baginya). Hal ini, sebagaimana yang anda lihat, sangat jelas dan tidak samar”
[ Kitab “Jilbaabul mar-atil muslimah” (hal. 120)]
Termasuk dalam hal ini adalah “jilbab gaul” atau “jilbab modis” yang banyak dipakai oleh wanita muslimah di jaman ini, yang dihiasi dengan renda-renda, bordiran, hiasan-hiasan dan warna-warna yang jelas sangat menarik perhatian dan justru menjadikan jilbab yang dikenakannya sebagai perhiasan baginya.
4. Termasuk tabarruj : Mengenakan jilbab dan pakaian yang tipis atau transparan.
Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah berkata:
“Adapun pakaian tipis maka itu akan semakin menjadikan seorang wanita bertambah (terlihat) cantik dan menggoda.
Dalam hal ini, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Akan ada di akhir umatku (nanti) wanita-wanita yang berpakaian (tapi) telanjang, di atas kepala mereka (ada perhiasan) seperti punuk unta, laknatlah mereka karena (memang) mereka itu terlaknat (dijauhkan dari rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala)”.(Riwayat ath-Thabrani dalam “al-Mu’jamush shagiir” (hal. 232) dinyatakan shahih sanadnya oleh syaikh al-Albani)
Dalam hadits lain ada tambahan: “Mereka tidak akan masuk Surga dan tidak dapat mencium bau (wangi)nya, padahal sungguh wanginya dapat dicium dari jarak sekian dan sekian”
[Riwayat imam Muslim ]
Imam Ibnu ‘Abdil Barr berkata: “Maksud Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam (dalam hadits ini) adalah wanita-wanita yang mengenakan pakaian (dari) bahan tipis yang transparan dan tidak menutupi (dengan sempurna), maka mereka disebut berpakaian tapi sejatinya mereka telanjang”
[Kitab “Jilbaabul mar-atil muslimah” (hal. 125-126)]
Dalam sebuah atsar yang diriwayatkan oleh imam Malik dalam “al-Muwaththa’” (2/913) dan Muhammad bin Sa’ad dalam “ath-Thabaqaatul Kubra” (8/72), dari Ummu ‘Alqamah dia berkata: “Aku pernah melihat Hafshah bintu ‘Abdur Rahman bin Abu Bakr menemui ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma dengan memakai kerudung yang tipis (sehingga) menampakkan dahinya, maka ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma merobek kerudung tersebut dan berkata: “Apakan kamu tidak mengetahui firman Allah yang diturunkan-Nya dalam surah an-Nuur?”. Kemudian ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma meminta kerudung lain dan memakaikannya”.
5. Termasuk tabarruj : Mengenakan jilbab/pakaian yang menggambarkan (bentuk) tubuh meskipun kainnya tidak tipis, seperti jilbab/pakaian yang ketat yang dikenakan oleh banyak kaum wanita jaman sekarang, sehingga tergambar jelas postur dan anggota tubuh mereka.
Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah berkata:
“Karena tujuan dari memakai jilbab adalah supaya tidak timbul fitnah, yang ini hanya dapat terwujud dengan (memakai) jilbab yang longgar dan tidak ketat. Adapun jilbab/pakaian yang ketat, meskipun menutupi kulit akan tetapi membentuk postur tubuh wanita dan menggambarkannya pada pandangan mata laki-laki. Ini jelas akan menimbulkan kerusakan (fitnah) dan merupakan pemicunya, oleh karena itu (seorang wanita) wajib (mengenakan) jilbab/pakaian yang longgar”

[Kitab “Jilbaabul mar-atil muslimah” (hal. 131)]
Termasuk dalam larangan ini adalah memakai jilbab/pakaian dari bahan kain yang lentur (jatuh) sehingga mengikuti lekuk tubuh wanita yang memakainya, sebagaimana hal ini terlihat pada beberapa jenis pakaian yang dipakai para wanita di jaman ini
[Lihat kitab “Jilbaabul mar-atil muslimah” (hal. 132-133).
Termasuk dalam hal ini adalah jilbab dari kain kaos yang lentur dan jelas membentuk anggota tubuh wanita yang memakainya, wallahu a’lam.]
Dalam fatwa Lajnah daimah no. 21352, tertanggal 9/3/1421 H, tentang syarat-syarat pakaian/jilbab yang syar’i bagi wanita, disebutkan di antaranya : hendaknya pakaian/jilbab tersebut (kainnya) tebal (sehingga) tidak menampakkan bagian dalamnya, dan pakaian/jilbab tersebut (kainnya) tidak bersifat menempel (di tubuh) [ Fataawa al-Lajnah ad-daaimah (17/141)]
Adapun dalil yang menunjukkan hal ini adalah hadits yang diriwayatkan oleh shahabat yang mulia, Usamah bin Zaid Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memakaikan untukku pakaian qibthiyah (dari negeri Mesir) yang tebal, pakaian itu adalah hadiah dari Dihyah al-Kalbi untuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian pakaian itu aku berikan untuk istriku, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadaku:
“Kenapa kamu tidak memakai pakaian qibthiyah tersebut?”. Aku berkata: “Aku memakaikannya untuk istriku”. Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Suruh istrimu untuk memakai pakaian dalam di bawah pakaian qibthiyah tersebut, karena sungguh aku khawatir pakaian tersebut akan membentuk postur tulangnya (tubuhnya)”
[HR Ahmad (5/205) dan lain-lain, dinyatakan hasan oleh syaikh al-Albani dalam kitab “Jilbaabul mar-atil muslimah” (hal. 131)].
Dalam hadits ini ada satu faidah penting, yaitu bahwa pakaian qibthiyah tersebut adalah pakaian dari kain yang tebal, tapi meskipun demikian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan bagi wanita yang mengenakanya untuk memakai di dalamnya pakain dalam lain, agar bentuk badan wanita tersebut tidak terlihat, terlebih lagi jika pakaian tersebut dari bahan kain yang lentur (jatuh) sehingga mengikuti lekuk tubuh wanita yang memakainya.
Imam Ibnu Sa’ad meriwayatkan sebuah atsar dari Hisyam bin ‘Urwah bahwa ketika al-Mundzir bin az-Zubair datang dari ‘Iraq, beliau mengirimkan sebuah pakaian kepada ibunya, Asma’ binti Abu Bakar Radhiyallahu anhuma, pada waktu itu Asma’ Radhiyallahu anhuma dalam keadaan buta matanya. Lalu Asma’ Radhiyallahu anhuma meraba pakaian tersebut dengan tangannya, kemudian beliau berkata: “Cih! Kembalikan pakaian ini padanya!”. al-Mundzir merasa berat dengan penolakan ini dan berkata kepada ibunya : Wahai ibuku, sungguh pakaian ini tidak tipis! Maka Asma’ Radhiyallahu anhuma berkata: “Meskipun pakaian ini tidak tipis tapi membentuk tubuh orang yang memakainya”
[Riwayat Ibnu Sa’ad dalam “ath-Thabaqaatul kubra” (8/252) dinyatakan shahih oleh syaikh al-Albani dalam kitab “Jilbaabul mar-atil muslimah” (hal. 127)].
6. Termasuk tabarruj : Wanita yang keluar rumah dengan memakai minyak wangi.
Dari Abu Musa al-Asy’ari Radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam betrsabda : “Seorang wanita, siapapun dia, jika dia (keluar rumah dengan) memakai wangi-wangian, lalu melewati kaum laki-laki agar mereka mencium bau wanginya maka wanita itu adalah seorang pezina”
[HR an-Nasa’i (no. 5126), Ahmad (4/413), Ibnu Hibban (no. 4424) dan al-Hakim (no. 3497), dinyatakan shahih oleh imam Ibnu Hibban, al-Hakim dan adz-Dzahabi, serta dinyatakan hasan oleh syaikh al-Albani].
Bahkan dalam hadits shahih lainnya [Lihat kitab “Silsilatul ahaadiitsish shahiihah” (no. 1031)], Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan larangan ini juga berlaku bagi wanita yang keluar rumah memakai wangi-wangian untuk shalat berjamaah di mesjid, maka tentu larangan ini lebih keras lagi bagi wanita yang keluar rumah untuk ke pasar, toko dan tempat-tempat lainnya.
Oleh karena itu, imam al-Haitami menegaskan bahwa keluar rumahnya seorang wanita dengan memakai wangi-wangian dan bersolek, ini termasuk dosa besar meskipun diizinkan oleh suaminya.[Dinukil oleh syaikh al-Albani dalam kitab “Jilbaabul mar-atil muslimah” (hal. 139)]
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang perempuan keluar rumah dengan memakai atau menyentuh wangi-wangian dikarenakan hal ini sungguh merupakan sarana (sebab) untuk menarik perhatian laki-laki kepadanya. Karena baunya yang wangi, perhiasannya, posturnya dan kecantikannya yang diperlihatkan sungguh mengundang (hasrat laki-laki) kepadanya. Oleh karena itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan seorang wanita ketika keluar rumah (untuk shalat berjamaah di mesjid) agar tidak memakai wangi-wangian, berdiri (di shaf) di belakang jamaah laki-laki, dan tidak bertasbih (sebagaimana yang diperintahkan kepada laki-laki) ketika terjadi sesuatu dalam shalat, akan tetapi (wanita diperintahkan untuk) bertepuk tangan (ketika terjadi sesuatu dalam shalat). Semua ini dalam rangka menutup jalan dan mencegah terjadinya kerusakan (fitnah)” [Kitab “I’lamul muwaqqi’iin” (3/178)].
7. Termasuk tabarruj : Wanita yang memakai pakaian yang menyerupai pakaian laki-laki.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu beliau berkata:
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat laki-laki yang mengenakan pakaian perempuan, dan perempuan yang mengenakan pakaian laki-laki.” [HR Abu Dawud (no. 4098), Ibnu Majah (1/588), Ahmad (2/325), al-Hakim (4/215) dan Ibnu Hibban (no. 5751), dinyatakan shahih oleh Ibnu Hibban, al-Hakim, adz-Dzahabi dan syaikh al-Albani. Lihat kitab “Jilbaabul mar-atil muslimah” (hal. 141)]
Dari Abdullah bin ‘Abbas Radhiyallahu anhu beliau berkata:
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat laki-laki yang menyerupai wanita dan wanita yang menyerupai laki-laki”
[ HSR al-Bukhari (no. 5546)]
Kedua hadits di atas dengan jelas menunjukkan haramnya wanita yang menyerupai laki-laki, begitu pula sebaliknya, baik dalam berpakaian maupun hal lainnya.
[Lihat kitab “Jilbaabul mar-atil muslimah” (hal. 146-147)]
Oleh karena itulah, para ulama salaf melarang keras wanita yang memakai pakaian yang khusus bagi laki-laki. Dari Ibnu Abi Mulaikah bahwa ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma pernah ditanya tentang wanita yang memakai sendal (yang khusus bagi laki-laki), maka beliau menjawab: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat wanita yang menyerupai laki-laki” [ HR Abu Dawud (no. 4099) dan dinyatakan shahih oleh syaikh al-Albani]
Imam Ahmad bin Hambal pernah ditanya tentang seorang yang memakaikan budak perempuannya sarung yang khusus untuk laki-laki, maka beliau berkata: “Tidak boleh dia memakaikan padanya pakaian (model) laki-laki, tidak boleh dia menyerupakannya dengan laki-laki” [Kitab “Masa-ilul imam Ahmad” karya imam Abu Dawud (hal. 261)]
Termasuk yang dilarang oleh para ulama dalam hal ini adalah wanita yang memakai sepatu olahraga model laki-laki, memakai jaket dan celana panjang model laki-laki [Lihat kitab “Jilbaabul mar-atil muslimah” (hal. 150), “Syarhul kaba-ir” (hal. 212) tulisan syaikh al-‘Utsaimin dan “al-‘Ajabul ‘ujaab fi asykaalil hijaab” (hal. 100-101)]
Juga perlu diingatkan di sini, bahwa larangan wanita yang menyerupai laki-laki dan sebaliknya berlaku secara mutlak di manapun mereka berada,di dalam rumah maupun di luar, karena ini diharamkan pada zatnya dan bukan sekedar karena menampakkan aurat [Lihat keterangan syaikh al-Albani dalam kitab “Jilbaabul mar-atil muslimah” (hal. 38) dan syaikh al-‘Utsaimin dalam “Syarhul kaba-ir” (hal. 212)].
8. Termasuk tabarruj : Wanita yang memakai pakaian syuhrah, yaitu pakaian yang modelnya berbeda dengan pakaian wanita pada umumnya, dengan tujuan untuk membanggakan diri dan populer.
[ Lihat kitab “Jilbaabul mar-atil muslimah” (hal. 213)]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa yang memakai pakaian syuhrah di dunia maka Allah akan memakaikan kepadanya pakaian kehinaan pada hari kiamat (nanti), kemudian dinyalakan padanya api Neraka.”
[HR Abu Dawud (no. 4029), Ibnu Majah (no. 3607 dan Ahmad (2/92), dinyatakan hasan oleh syaikh al-Albani]
Kaum wanita yang paling sering terjerumus dalam penyimpangan ini, karena sikap mereka yang selalu ingin terlihat menarik secara berlebihan serta ingin tampil istimewa dan berbeda dengan yang lain. Oleh karena itu, mereka memberikan perhatian sangat besar kepada perhiasan dan dandanan untuk menjadikan indah penampilan mereka.
Berapa banyak kita melihat wanita yang tidak segan-segan mengorbankan biaya, waktu dan tenaga yang besar hanya untuk menghiasi dan memperindah model pakaiannya, supaya dia tampil beda dengan pakaian yang dipakai wanita-wanita lainnya. Maka dengan itu dia jadi terkenal, bahkan model pakaiannya menjadi ‘trend’ di kalangan para wanita dan dia disebut sebagai wanita yang tau model pakaian jaman sekarang.
Perbuatan ini termasuk tabarruj karena wanita yang memakai pakaian ini ingin memperlihatkan keindahan dan perhiasannya yang seharusnya disembunyikan.
Larangan ini juga berlaku secara mutlak, di dalam maupun di luar rumah, karena ini diharamkan pada zatnya
[Lihat keterangan syaikh al-Albani dalam kitab “Jilbaabul mar-atil muslimah” (hal. 38)].

Nb : Banjarmasin, 05 Desember 2013 *mogamanfaat

sumber diantaranya :
http://almanhaj.or.id/
content/3297/slash/0

http://gadisberjilbab.tumblr.com/post/27048480068/tabarruj-dandanan-ala-jahiliyah-wanita-modern

Bersalaman

Wanita selalu menggoda, namun kadang pula godaan juga karena si pria yang nakal. Islam selalu sendiri mengajarkan agar tidak terjadi kerusakan dalam hubungan antara pria dan wanita. Oleh karenanya, Islam memprotek atau melindungi dari perbuatan yang tidak diinginkan yaitu zina. Karenanya, Islam mengajarkan berbagai aturan ketika pria-wanita berinteraksi. Di antara adabnya adalah berjabat tangan dengan wanita non mahram.
Pendapat Ulama Madzhab Tentang Berjabat Tangan dengan Non Mahram
Mengenai hukum bersalaman atau berjabat tangan antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram, hal ini terdapat perselisihan pendapat di antara para ulama. Ada di antara mereka yang membedakan antara berjabat tangan dengan wanita tua dan wanita lainnya. Bersalaman dengan wanita tua yang laki-laki tidak memiliki syahwat lagi dengannya, begitu pula  laki-laki tua dengan wanita muda, atau sesama wanita tua dan laki-laki tua, itu dibolehkan oleh ulama Hanafiyah dan Hambali dengan syarat selama aman dari syahwat antara satu dan lainnya. Karena keharaman bersalaman yang mereka anggap adalah khawatir terjerumus dalam fitnah. Jika keduanya bersalaman tidak dengan syahwat, maka fitnah tidak akan muncul atau jarang. Ulama Malikiyyah mengharamkan berjabat tangan dengan wanita non mahram meskipun sudah tua yang laki-laki tidak akan tertarik lagi padanya. Mereka berdalil dengan dalil keumuman dalil yang menyatakan haramnya. 
Sedangkan ulama Syafi’iyyah berpendapat haramnya bersentuhan dengan wanita non mahram, termasuk pula yang sudah tua. Syafi’iyah tidak membedakan antara wanita tua dan gadis.
Sedangkan berjabat tangan antara laki-laki dengan gadis yang bukan mahramnya, dihukumi haram oleh ulama madzhab yaitu Hanafiyah, Malikiyyah, Syafi’iyyah dan Hambali dalam pendapat yang terpilih, juga oleh Ibnu Taimiyah. Ulama Hanafiyah lebih mengkhususkan pada gadis yang membuat pria tertarik. Ulama Hambali berpendapat tetap haram berjabat tangan dengan gadis yang non mahram baik dengan pembatas (seperti kain) atau lebih-lebih lagi jika tidak ada kain. (Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 37: 358-360)
Dalil yang Jadi Pegangan
Pertama, hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha
‘Urwah bin Az Zubair berkata bahwa ‘Aisyah –istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam- berkata,
“Jika wanita mukminah berhijrah kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mereka diuji dengan firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Hai Nabi, apabila datang kepadamu perempuan-perempuan yang beriman untuk mengadakan janji setia, bahwa mereka tiada akan menyekutukan Allah, tidak akan mencuri, tidak akan berzina ….” (QS. Al Mumtahanah: 12). 
‘Aisyah pun berkata, “Siapa saja wanita mukminah yang mengikrarkan hal ini, maka ia berarti telah diuji.” Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri berkata ketika para wanita mukminah mengikrarkan yang demikian, “Kalian bisa pergi karena aku sudah membaiat kalian”. Namun -demi Allah- beliau sama sekali tidak pernah menyentuh tangan seorang wanita pun. Beliau hanya membaiat para wanita dengan ucapan beliau. 
‘Aisyah berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah pernah menyentuh wanita sama sekali sebagaimana yang Allah perintahkan. Tangan beliau tidaklah pernah menyentuh tangan mereka.  Ketika baiat, beliau hanya membaiat melalui ucapan dengan berkata, “Aku telah membaiat kalian.” (HR. Muslim no. 1866).
Kedua, hadits Ma’qil bin Yasar.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لأَنْ يُطْعَنَ فِي رَأْسِ رَجُلٍ بِمِخْيَطٍ مِنْ حَدِيدٍ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَمَسَّ امْرَأَةً لا تَحِلُّ لَهُ
Ditusuknya kepala seseorang dengan pasak dari besi, sungguh lebih baik baginya daripada menyentuh wanita yang bukan mahramnya.” (HR. Thobroni dalam Mu’jam Al Kabir 20 : 211. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih). 
Hadits ini sudah menunjukkan kerasnya ancaman perbuatan tersebut, walau hadits tersebut dipermasalahkan keshahihannya oleh ulama lainnya. Yang diancam dalam hadits di atas adalah menyentuh wanita. Sedangkan bersalaman atau berjabat tangan sudah termasuk dalam perbuatan menyentuh.

Ketiga, dalil qiyas (analogi).
Melihat wanita yang bukan mahram secara sengaja dan tidak ada sebab yang syar’i dihukumi haram berdasarkan kesepakatan para ulama. Karena banyak hadits yang shahih yang menerangkan hal ini. Jika melihat saja terlarang karena dapat menimbulkan godaan syahwat. Apalagi menyentuh dan bersamalan, tentu godaannya lebih dahsyat daripada pengaruh dari pandangan mata. Berbeda halnya jika ada sebab yang mendorong hal ini seperti ingin menikahi seorang wanita, lalu ada tujuan untuk melihatnya, maka itu boleh. Kebolehan ini dalam keadaan darurat dan sekadarnya saja.
Imam Nawawi rahimahullah berkata,
“Setiap yang diharamkan untuk dipandang, maka haram untuk disentuh. Namun ada kondisi yang membolehkan seseorang memandang –tetapi tidak boleh menyentuh, yaitu ketika bertransaksi jual beli, ketika serah terima barang, dan semacam itu. Namun sekali lagi, tetap tidak boleh menyentuh dalam keadaan-keadaan tadi. ” (Al Majmu’: 4: 635)
Dalil yang menyatakan terlarangnya pandangan kepada wanita non mahram adalah dalil-dalil berikut ini.
Allah Ta’ala berfirman,
قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ
Katakanlah kepada laki – laki yang beriman :”Hendaklah mereka menundukkan pandangannya dan memelihara kemaluannya.” (QS. An Nuur: 30)
Dalam lanjutan ayat ini, Allah juga berfirman,
وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ
Katakanlah kepada wanita-wanita yang beriman : “Hendaklah mereka menundukkan pandangannya, dan kemaluannya” (QS. An Nuur: 31)
Ibnu Katsir ketika menafsirkan ayat pertama di atas mengatakan, 
”Ayat ini merupakan perintah Allah Ta’ala kepada hamba-Nya yang beriman untuk menundukkan pandangan mereka dari hal-hal yang haram. Janganlah mereka melihat kecuali pada apa yang dihalalkan bagi mereka untuk dilihat (yaitu pada istri dan mahramnya). Hendaklah mereka juga menundukkan pandangan dari hal-hal yang haram. Jika memang mereka tiba-tiba melihat sesuatu yang haram itu dengan tidak sengaja, maka hendaklah mereka memalingkan pandangannya dengan segera.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 10: 216)
Ketika menafsirkan ayat kedua di atas, Ibnu Katsir juga mengatakan,”Firman Allah (yang artinya) ‘katakanlah kepada wanita-wanita yang beriman : hendaklah mereka menundukkan pandangan mereka’ yaitu hendaklah mereka menundukkannya dari apa yang Allah haramkan dengan melihat kepada orang lain selain suaminya. Oleh karena itu, mayoritas ulama berpendapat bahwa tidak boleh seorang wanita melihat laki-laki lain (selain suami atau mahramnya, pen) baik dengan syahwat dan tanpa syahwat. … Sebagian ulama lainnya berpendapat tentang bolehnya melihat laki-laki lain dengan tanpa syahwat.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 10: 216-217)

Dari Jarir bin ‘Abdillah, beliau mengatakan,
سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ نَظَرِ الْفُجَاءَةِ فَأَمَرَنِى أَنْ أَصْرِفَ بَصَرِى.
Aku bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang pandangan yang cuma selintas (tidak sengaja). Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepadaku agar aku segera memalingkan pandanganku.” (HR. Muslim no. 2159)
Khatimah
Dalil-dalil di atas tidak mengecualikan apakah yang disentuh adalah gadis ataukah wanita tua. Jadi, pendapat yang lebih tepat adalah haramnya menyentuh wanita yang non mahram, termasuk pula wanita tua. Realitanya yang kita saksikan, wanita tua pun ada yang diperkosa. Sedangkan untuk gadis, no way, tetap dinyatakan haram untuk menyentuh dan berjabat tangan dengannya.
Hal di atas menunjukkan bahwa wanita benar-benar dimuliakan dalam Islam sehingga tidak ada yang bisa macam-macam dan berbuat nakal. Karena itulah wanita, benar-benar dimuliakan dalam ajaran Islam. Wanita dalam Islam adalah ibarat ratu. Adakah yang berani nyelonong-nyelonong dan menjabat tangan seorang ratu seperti Ratu Elizabeth? Tentu saja tidak berani. Demikianlah mulianya wanita di dalam Islam.
Wallahu waliyyut taufiq was sadaad, hanya Allah yang memberi taufik untuk menjauhi yang haram.
@ KSU, Riyadh, KSA, 23 Rabi’ul Awwal 1433 H
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
source :http://gadisberjilbab.tumblr.com/page/2